JAKARTA – PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengklaim masih dapat mempertahankan arus kas, walaupun membukukan rugi sebesar US$ 23 miliar pada enam bulan pertama 2017.

“Pelaksaaan komitmen Kontrak Karya (KK) membutuhkan pendanaan yang luar biasa. Dengan kondisi harga seperti inii, kami harus mengutamakan keberlangsungan usaha operasi terlebih dahulu,” kata Nico Kanter,  Presiden Direktur Vale di Jakarta, Senin (7/8).
Menurut Nico,  kondisi harga nikel tidak lepas dari kebijakan relaksasi ekspor bijih.  Pemerintah memperbolehkan ekspor bijih mentah sejak awal 2017.
Febriany Eddy, Chief Financial Officer Vale, mengungkapkan sebelum diterbitkannya peraturan mengenai relaksasi ekspor bijih mentah, harga nikel 2017 diprediksi berada dikisaran US$ 11.000-12.250 per ton. Namun, setelah diterbitkannya peraturan tersebut, para analis merevisi prediksi harga nikel 2017 menjadi kisaran US$ 9.800-10.300.
Sampai saat ini, pemerintah telah menerbitkan izin ekspor sebesar delapan juta ton.
Menurut Febriany, walaupun relaksasi ekspor saat ini masih rendah, namun pasar telah memperhitungkan jumlah tersebut dalam menghitung supply bijih nikel dunia. Jumlah delapan juta ton ini tidak bisa dianggap remeh karena mencerminkan sekitar 4% dari supply nikel dunia.
“Jumlah delapan juta ton izin ekspor tersebut diterbitkan dalam kurun waktu kurang lebih tujuh bulan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akan lebih banyak lagi volume ekspor bijih nikel yang akan diizinkan sampai dengan lima tahun ke depan,” ujar Febriany.
Febriany menambahkan, dalam beberapa minggu terakhir terjadi perbaikan indikator-indikator makro ekonomi di Cina yang membantu meningkatkan harga nikel,  meskipun tidak banyak. Kenaikan harga ini sebenarnya bisa lebih tinggi, namun saat ini tertekan dengan proyeksi ekspor bijih dari Indonesia.
“Kami sangat prihatin mengingat bijih nikel Indonesia yang begitu berharga dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui diperbolehkan untuk diekspor kembali dengan nilai yang rendah. Hal ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri,” ungkap Febriany.
Khusus untuk nikel, kata Febriany, Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang sangat kuat untuk membuat investor menanamkan modalnya di dalam negeri dalam bentuk pembangunan smelter. Hal ini bisa dilihat bahwa sejak dilarangnya ekspor bijih nikel mentah sampai akhir tahun lalu, telah terjadi paling tidak investasi senilai US$ 6 miliar.
Sejak 1979 Vale Indonesia telah mengoperasikan peleburan nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Vale Indonesia mengoperasikan salah satu operasi tambang yang terintegrasi dengan pabrik pengolahan nikel laterit. Vale Indonesia memproduksi nikel dalam matte yang dijual melalui kontrak penjualan jangka panjang ke Vale Canada Limited dan Sumitomo Metal Mining.
Pabrik pengolahan Vale Indonesia memiliki 3 tanur pengering (dryer), 5 tanur pereduksi (reduction klin), 4 tungku listrik (electric furnace) dan 3 konverter. Tambang Vale didukung oleh 3 buah fasilitas pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 365 MW.
Sepanjang tahun ini Vale berencana memproduksi 80.000 nikel dalam matte.
Menurut Febriany, dengan diperbolehkan kembali ekspor bijih nikel akan mengurangi insentif membangun di dalam negeri karena pasokan bijih mentah menjadi tersedia di Cina. Sehingga, tidak lagi menjadi keharusan bagi para investor untuk membangun smelter di Indonesia.
“Hal ini juga menyebabkan kami sulit mendapatkan potensi mitra untuk berinvestasi di Pomalaa dan Bahodopi. Kami akan terus berdialog dengan pemerintah until mendapatkan solusi yang terbaik,” tandas Nico.(RA)