JAKARTA – Kebijakan relaksasi ekspor konsentrat maupun mineral mentah kadar rendah dianggap telah memberikan sinyal buruk bagi investasi pembangunan smelter, bahkan bagi iklim investasi secara keseluruhan.

Pemerintah yang demikian proaktif menarik minat investor berinvestasi dengan mengefisienkan sistem perizinan melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), justru pada saat yang sama menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.

“Pemerintah pula yang mendemonstrasikan ketidakpastian hukum. Tidak heran jika minat investasi smelter akhir-akhir ini menjadi berkurang,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) di Jakarta, Kamis(20/7).

Menurut Marwan, dengan terbitnya PP 1/2017, waktu relaksasi yang diberikan guna menunggu pembangunan smelter lebih lama, yakni lima tahun.

Relaksasi ekspor dianggap melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, sehingga pantas untuk dibatalkan.

Jonatan Handojo, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian, mengatakan dampak atas relaksasi ekspor tersebut juga tengah dirasakan kalangan industri yang sejatinya telah konsisten mengimplemetasikan kebijakan hilirisasi mineral dengan membangun smelter.

“Beberapa smelter bahkan terancam gulung tikar dan rencana investasi ke depan menjadi tidak menentu karena perubahan kebijakan yang signifikan dan menguntungkan pihak tertentu. Dari 25 smelter nikel, yang sehat hanya 2,” kata Jonatan.

Kebijakan relaksasi antara lain menjadikan peta dan volume ekspor impor konsentrat berubah, harga komoditas turun Dan kelayakan investasi smelter pun ikut terganggu. Faktanya, dari 12 smelter bauksit atau nikel yang direncanakan dibangun pada 2015, ternyata yang terealisasi hanya lima. Dari empat smelter yang direncanakan pada 2016, hanya dua yang terealisasi.

Ada sekitar 11 smelter yang berhenti operasi karena merugi akibat relaksasi, yakni PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon. Di sisi lain, sekitar 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga, yaitu PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gebe Industri, PT Tsingshan (SMI), PT Guang Ching, PT Heng Tai Yuan, PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan PT Vale Indonesia Tbk.

“Pengolahan dan pemurnian mineral mentah sampai saat ini belum dapat dilakukan dengan baik,” tandas Bisman Bakhtiar, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep).(RA)