JAKARTA – Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dinilai tidak maksimal karena ketiadaan fondasi dari sisi regulasi yang kuat. Hingga saat ini belum ada undang-undang yang menjadi dasar dari rencana pembangunan sektor EBT di tanah air.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR,  mengatakan jika ingin  mempercepat pemanfaatan EBT di Indonesia, UU khusus perlu diberlakukan. Kondisi ketidakpastian investasi yang dirasakan pelaku usaha saat ini adalah buntut dari masih lemahnya regulasi.

Dia menegaskan kajian untuk membahas UU EBT harus segera dimulai karena komitmen pemerintah sendiri yang menegaskan untuk harus ada pergeseran dari energi fosil ke non fosil.

“Jadi kami akan melakukan exercise dulu. Kami meminta kepada pemangku kepentingan untuk melakukan kajian akademis, ya kalau bisa membantu DPR,” kata Satya di sela pelaksanaan seminar Outlook Clean Energy di Jakarta, Kamis (21/12).

Harus diakui lanjut Satya implementasi EBT di Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Bahkan upaya yang selama ini digaungkan  pemerintah seakan seperti slogan karena sampai sekarang juga tidak mencapai target yang telah dicanangkan.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan capaian EBT baru 7,8% dari target 2025 sebesar 23% dari penggunaan energy mix.

Terlebih sekarang insentif yang dinilai menjadi cara tercepat untuk pengembangan EBT masih tidak populer dimata para anggota dewan.

“Itu fakta. Maka disaat negara pada 2025  kita harus bisa 23%, itu kan kita jadi ngeri. Bagaimana ini? Kami beri insentif saja di Badan Anggaran (Banggar) ditolak. Karena itu dianggap mensubsidi pengusaha. Harusnya tidak diliat dari situ. Menurutnya saya UU EBT ini urgensinya disitu,” papar Satya.

Ketiadaan UU khusus membuat semua stakeholder belum satu visi dalam pengembangan EBT, tidak aneh jika realisasi capaian EBT terus meleset dari target.

Sebagai pedoman, UU EBT nantinya bisa menjadi patokan atau tolak ukur bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan. Tidak seperti kondisi sekarang ini. Pemerintah justru kehilangan kepercayaan karena kerap kali menyusun regulasi yang tidak sejalan dengan kondisi bisnis EBT.

“Keberpihakan untuk EBT harus jelas. Dalam bentuk apa keberpihakannya. Kalau keberpihakan belum jelas yang terjadi seperti hari ini. Misalnya menteri mengeluarkan Permen yang direvisi beberapa kali. Artinya tidak melalui pola pengkajian, pola diskusi dengan stakeholder yang baik,” kata Satya.(RI)

Pekerja mengawasi jaringan pipa di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Garut, Jawa Barat.