JAKARTA – Rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi listrik bagi pelanggan 900 VA secara bertahap mulai Januari 2017 dinilai tidak tepat sasaran dan berpotensi menimbulkan protes atau komplain dari masyarakat. Untuk itu, perlu data yang akurat dan transparan dengan melibatkan pemangku kepentingan.

“Kenaikan TTL secara bertahap dari Rp 605 per KWh menjadi Rp 791per KWh (Januari-Februari 2017), kemudian naik menjadi Rp 1.034 per KWh (Maret-April 2017), naik menjadi Rp 1.352 per KWh (Mei-Juni 2017). Jangka waktu dari pentahapan ini terlalu singkat, sebaiknya jangka waktunya satu tahun. Perlu justifikasi yang rasional, baik dari sisi besaran maupun jangka waktunya,” ujar Syamsir Abduh, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) kepada Dunia Energi, Senin (28/11).

Menurut dia, pengurangan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA seharusnya menjadi instrumen pemerataan penyediaan listrik bagi yang belum menikmati listrik (elektrifikasi) sekaligus sebagai instrumen untuk melakukan penghematan listrik. Itu sebabnya Transparansi pengalihan subsidi bagi kepentingan pengembangan kelistrikan, sangat diperlukan.

“Harus transparan, pengalihan subsidi untuk kebutuhan apa saja. Kenaikan TTL seharunya dibarengi dengan peningkatan kualitas listrik dan pelayanan kepada pelanggan,” tegas yamsir.

Syamsir menjelaskan, sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN), harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan. Kedua, subsidi diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Ketiga, subsidi diberikan dalam hal penerapan keekonomian berkeadilan tidak dapat diterapkan dan harga ET lebih mahal dari energi fosil.

Keempat, penyediaan subsidi dilakukan secara tepat sasaran untuk golongan yang tidak mampu. Kelima, pengurangan subsidi BBM dan listrik secara bertahap sampai kemampuan daya beli masyarakat tercapai.

“Bagi PT PLN (Persero), efisiensi hulu ke hilir adalah suatu keharusan,” tandas Syamsir.(RA)