JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mendesak pemerintah menyelesaikan persoalan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) para pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) Generasi III.

Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif APBI, mengungkapkan masalah restitusi pajak membuat ketidakpastian bagi pelaku usaha.

“Kita harapkan agar ada konsistensi kebijakan pemerintah untuk memberi kepastian,” ungkap Hendra kepada Dunia Energi, Kamis (24/11).

Aktivitas produksi batubara salah satu anak perusahaan BIPI di Kutai Timur.

Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ditemukan laporan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak konsisten terhadap perlakukan PPN atas PKP2B Generasi III.

Status hukum PKP2B generasi tiga adalah bersifat tetap atau “lex specialist”. Dengan demikian, hukum yang berlaku adalah saat PKP2B generasi III ditandatangani pada periode 1997-2000 dan tidak mengikuti hukum baru yang terbit setelahnya.

Saat PKP2B generasi tiga yang ditandatangani 1997-2000, batubara mengacu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 yakni merupakan barang kena pajak, sehingga perusahaan berhak mendapatkan restitusi pajak.

Namun setelah itu, muncul UU pajak baru yang menyatakan batubara bukan barang kena pajak, sehingga muncul permasalahan restitusi pajak perusahaan PKP2B Generasi III.

“Pemegang PKP2B Generasi III tidak mendapat perlakuan yang sama terkait pengembalian atau restitusi PPN,” kata Hendra.

Saat ini, terdapat 53 kontrak tambang PKP2B generasi III yang 37 di antaranya berstatus operasi produksi dan sisanya masih pada tahap praproduksi/eksplorasi. Perusahaan PKP2B generasi III dikenakan dana hasil penjualan batu bara berupa royalti dan dana pengembangan batu bara sebesar 13,5% serta pajak penghasilan 30%.(RA)