JAKARTA – Pemerintah diminta mengkaji regulasi pelaksanaan program Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga nasional yang ditugaskan ke PT Pertamina (Persero). Pasalnya program ini berpotensi menabarak Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tjatur Sapto Edy, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN, mengatakan Pertamina merupakan BUMN yang tunduk kepada UU BUMN. Salah satu poin dalam undang-undang tersebut tidak mengizinkan BUMN untuk merugi.

“Pertamina tunduk UU BUMN , kalau dia rugi itu melanggar UU. Kalau ada orang usil itu digugat, pasti kalah,” kata Tjatur di Jakarta, Kamis malam (15/6).

Kondisi yang ada saat ini Pertamina harus melakukan subsidi silang, bahkan menalangi program BBM satu harga. Untuk tahun ini saja Pertamina membutuhkan sedikitnya Rp 5 triliun untuk bisa menerapkan BBM satu harga di 46 lokasi.

Pertamina juga masih harus menalangi selisih harga BBM penugasan yang saat ini sudah di bawah harga keekonomian.

Akibat menjalankan berbagai program pemerintah, kondisi keuangan Pertamina hingga kuartal I sudah menunjukan pergerakan negatif dengan anjloknya laba 24,75% menjadi US$760 juta dibanding periode yang sama 2016 sebesar US$1,01 miliar.

Menurut Tjatur, niat pemerintah sudah baik dengan program BBM satu harga. Hanya saja harus diimbangi dengan payung hukum yang kuat sebagai dasar.

“Maksud presiden baik kalau birokrat tidak lindungi itu jadi lemah. Karena Pertamina melanggar UU nanti,” ungkap dia.

Anggota Komisi VII lainnya, Harry Poernomo, dari Fraksi Gerindra, menyarankan agar bisa memberikan fleksibilitas subsidi kepada Pertamina untuk bahan bakar solar. Hal ini bertujuan agar dana sisa subsidi solar bisa dialihkan nantinya untuk program BBM satu harga, sehingga badan usaha tidak berjalan sendiri untuk wujudkan program pemerintah. Negara diminta tetap hadir dalam program tersebut.

Menurut Harry, Pertamina dalam setiap kesempatan pasti mengeluhkan hal ini kepada DPR karena kewajiban turut mempengaruhi cash flow atau kinerja keuangan. Selama ini Pertamina dituntut melakukan subsidi silang dari sektor hulu, tapi dengan kondisi sekarang sektor hulu juga sedang lesu strategi seperti itu dipastikan tidak akan berjalan.

“Kalau penugasan harusnya uang negara. Dari subsidi nanti ditiitpkan saja misalkan dilebihkan Rp 50 untuk digunakan dalam program BBM satu harga,” kata dia.(RI)