JAKARTA – PT Indika Energy Tbk (INDY), emiten energi terpadu melalui investasi di sejumlah perusahaan, menargetkan mempertahankan produksi batubara pada tahun ini sama dengan realisasi produksi 2016 yang mencapai 32 juta ton. Kebijakan mempertahankan produksi batubara melalui anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung dipicu kondisi harga batubara yang dinilai masih fluktuatif.  
“Pada 2017, karena masih harga batubara masih fluktuatif kita putuskan tetap produksi 32 juta ton. Angka US$80 per ton sebenarnya sudah bagus, tapi kita antisipasi kalau ada penurunan,” kata Azis Armand, Direktur Keuangan Indika di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pada Januari 2017, harga batubara acuan (HBA) tercatat turun signifikan dari level US$101,69 per ton menjadi US$86,23 per ton. 
Menurut Azis, pada 2011, harga batubara mencapai puncak di level US$ 105 per ton karena tingginya permintaan, terutama dari China. Namun kemudian terjadi penurunan permintaan batubara dari China, sementara kapasitas produksi batubara tinggi. Penurunan harga batu bara terus terjadi.
“Harga batubara bahkan pernah mencapai titik terendah di bawah US$ 50 per ton di 2016,” kata Azis.

Dia mengungkapkan pada saat itu perusahaan-perusahaan batubara, baik di China, Australia maupun Indonesia melakukan banyak penyesuain, termasuk Indika. Hal yang utama dilakukan saat itu adalah melakukan penyesuaian biaya produksi, salah satunya dengan melakukan renegosiasi kontrak pertambangan dengan kontraktor pertambangan dan mengurangi stripping ratio. 

Kideco Jaya Agung, merupakan perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang memiliki tambang seluas 50.921 hektar di Kalimantan Timur dan memiliki kontrak hingga 2023. Kideco mengoperasikan lima tambang terbuka batu bara dengan perkiraan cadangan 651 juta ton. 

Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika, mengatakan perseroan menyambut positif kebijakan baru pemerintah di sektor pertambangan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.  “Waktu lima tahun sebelum kontrak berakhir itu sangat positif. Karena memang semua itu perlu perencanaan. Lima tahun oke, suatu proses yang menguntungkan kedua belah pihak,” ungkap Arsjad.

Salah satu poin dalam PP Nomor 1 Tahun 2017 adalah diberikannya waktu lima sebelum kontrak berakhir bagi perusahaan tambang untuk mengajukan perpanjangan kontrak.

Namun Arsyad menambahkan meski terbitnya aturan baru tersebut cukup positif, masih banyak aturan yang belum lengkap hingga masih menjadi kendala dalam proses renegosiasi amendemen kontrak PKP2B yang masih dibahas antara Kideco dengan pemerintah. 
“MoU sudah kita tandatangani dengan pemerintah. Saat ini masih proses (amendemen kontrak), pembahasan terus dilakukan,” tandas Arsyad.(AT)