JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menampik dugaan Serikat Pekerja PT Pertamina (Persero) yang menilai proses transisi Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina tidak berjalan mulus dan bermasalah.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, menyatakan sejauh ini proses transisi berjalan dengan lancar dan apa yang dituduhkan serikat pekerja juga tidak benar. Tim transisi yang telah dibentuk terdiri dari berbagai unsur, termasuk Pertamina bekerja keras untuk memastikan proses transisi berjalan lancar.

“Dugaannya tidak benar. Kalau tidak kami kerjakan pasti muncul masalah. Ini kan tim transisi kerja keras agar lancar,” kata Fatar Yani kepada Dunia Energi, Rabu (16/6).

Fatar Yani menegaskan transisi alih kelola blok terminasi bukan kali pertama dilakukan Pertamina di Rokan. Sebelumnya sudah ada beberapa blok yang dialih kelola dan menunjukkan kinerja produksi yang positif.

“Coba lihat wilayah kerja lain yang alih kelola dengan Pertamina terdahulu, sangat minimal dampak interupsi ke produksi,” ungkap dia.

Menurut Fatar, hanya orang yang tidak paham hulu migas selalu bilang produksi turun setelah alih kelola. Kondisi alami lapangan migas Indonesia terlebih yang baru saja dialihkelola ke Pertamina sudah sangat tua, sehingga penurunan produksi hampir pasti atau kemungkinan besar akan terjadi.

“Yang namanya lapangan mature alias sudah terkuras cadangannya, secara alamiah pasti turun produksinya,” tegas Fatar.

Salah satu kunci untuk menambah produksu adalah dengan menemukan cadangan baru. Akan tetapi untuk menambah cadangan diperlukan waktu yang tidak sedikit. “Untuk menambah cadangan atau mengembangkan resources yang pernah ditemukan operator sebelumnya kan enggak bisa overnight terjadi, butuh waktu,” kata Fatar Yani.

Arie Gumilar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), sebelumnya mengatakan proses transisi tidak berjalan dengan mulus.Pertamina tidak diizinkan masuk untuk bisa mengakses, baik data-data produksi, data-data operasi, bahkan data-data pekerja. Hal ini menyebabkan Pertamina juga tidak bisa membantu mempertahankan produksi Blok Rokan yang menunjang produksi nasional.

“Pernah muncul bahkan opsi Pertamina bisa mengakuisisi perusahaan CPI di dua tahun terakhir, tentunya Pertamina harus membayar sejumlah uang tertentu mengambil alih. Namun demikian CPI ingin keluar dari negeri ini dengan clean,” ungkap Arie.

Menurut Arie, FSPBB menganggap tidak transparan terkait data pengolahan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3), yakni berupa Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) yang jumlahnya masih sangat signifikan dan belum terselesaikan.

Kondisi ini dikhawatirkan menjadi permasalahan di kemudian hari bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah, Pertamina, berpotensi menjadi beban keuangan negara secara langsung maupun tidak langsung.(RI)