JAKARTA – PT Freeport Indonesia harus melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang mewajibkan untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter dan harus selesai pada 2023. Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR, menyesali sikap Freeport Indonesia yang terkesan mengabaikan kewajiban pembangunan smelter sebagai syarat mendapatkan perpanjangan izin operasional dan izin ekspor konsentrat tembaga.

Kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang adalah amanat UU yang harus dipatuhi bersama, sehingga sangat tidak pantas jika Freeport Indonesia mencoba menawar ketentuan UU yang sudah disahkan dan diberlakukan.

“Tekait kewajiban pembangunan smelter yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba bagi perusahaan tambang tembaga, sepantasnya tidak ditawar-tawar lagi.  Proses pembentukan dan pengesahan UU tersebut sudah lewat.  Kini saatnya kita melaksanakan UU tersebut secara konsekuen dan bertanggung-jawab,” kata Mulyanto, Selasa (3/11).

Pemerintah kata Mulyanto harus tegas mengingatkan Freeport Indonesia tentang kewajiban pembangunan smelter tersebut. Pembangunan smelter adalah kewajiban UU.

Perjanjian antara Freeport Indonesia dan negara adalah soal hubungan vertikal-struktural antara unsur-unsur masyarakat dengan negara, sebagai wujud pelaksanaan konstitusi negara. Karenanya harus dimengerti, bahwa itu tidak bersifat tawar-menawar, namun mengikat (binding) dan memaksa (compulsary). Apalagi mayoritas saham Freeport Indonesia sebanyak 51% adalah milik Pemerintah Indonesia. Jadi secara teoritis adalah BUMN. Karenanya menjadi tidak masuk akal kalau BUMN ingin menabrak UU.  Ini preseden buruk, bagi tata kelola pengusahaan sumber daya alam di Indonesia.

“Kita kan negara hukum. Semestinya Freeport menghormati UU yang berlaku di negeri ini.  Jangan menganggap semua hal sebagai urusan dagang yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah fakta, rule of the game, bila ingin hidup di Indonesia,” tegas Mulyanto.

Jika negosiasi antara Freeport dan pemerintah terus berlangsung terkait penundaan pembangunan smelter maka sama saja Freeport telah melecehkan Indonesia sebagai negara hukum.

Sejauh ini pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019, tentang ketentuan kemajuan fisik pembangunan smelter yang paling sedikit 90% dari target yang ada tidak berjalan optimal. Padahal jika tidak tercapai, pemerintah berhak menjatuhkan sanksi penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat.  Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir.  Serta beberapa sanksi administratif lainnya.

Menurut Mulyanto, hitungan kasar pencapaian kemajuan fisik smelter Freeport masih di bawah 50%. Karenanya sanksi itu harus segera diputuskan pemerintah.

“Ini penting.  Kalau Pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat,” kata Mulyanto.

Selain mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi batas waktu yang ditetapkan UU, akibat pandemi kini Freeport Indonesia terus menerus melempar wacana pembangunan smelter adalah proyek rugi. Ini jelas terbuka melawan UU.

Pada 2018,  salah satu syarat bagi Freeport untuk mendapatkan perpanjangan dan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah pembangunan smelter.  Nyatanya hingga hari ini syarat juga tidak dipenuhi.  Sekarang PTFI minta relaksasi kembali untuk melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020.

“Kita sudah hapal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya.  Pelanggaran UU Nomor 4 Tahun 2009 pertama kali dilakukan pada 2014 dengan tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai 2018. Padahal amanat UU No.4 tahun 2009, smelter harus beroperasi pada 2014,” kata Mulyanto.(RI)