JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan tambahan insentif sangat diperlukan untuk bisa memaksimalkan potensi migas. Apalagi pemerintah telah membuka pintu dialog guna membahas pemberian insentif dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Namun  implementasi di lapangan tidak mudah untuk direalisasikan.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan target produksi sebesar satu juta barel per hari (bph) perlu akselerasi dan usaha ekstra.

Eksplorasi yang didorong SKK Migas tahun ini baru akan terlihat pada tahun 2027 mendatang. Target tersebut lebih cepat dari kondisi normal yang biasanya membutuhkan waktu 7-15 tahun.

“Eksplorasi baru kelihatan 2027 nanti produksinya. Jadi eksplorasi sekarang ini, tujuh tahun lagi baru onstream, dulu bahkan bisa sampai 15 tahun baru mulai onstream.  Kami mendorong sekarang eksplorasi sekarang,” kata Fatar Yani dalam diskusi virtual, Jumat (13/11).

Hanya saja untuk bisa mengimplementasikan target tersebut harus ada insentif. Meskipun memungkinkan,  dalam praktiknya ternyata tidak semudah yang diperkirakan.

Fatar Yani menuturkan saat ini yang tidak dimiliki SKK Migas adalah fleksibilitas untuk bisa memberikan insentif kepada investor, salah satunya adalah dari sisi insentif fiskal. Ini karena payung hukum atau dasar untuk memberikan insentif tersebut masih belum ada. Ketiadaan payung hukum ini berujung pada adanya ancaman hukum jika insentif fiskal diberikan kepada kontraktor.

“Itu tadi kebijakan fiskal kami harapkan UU mendukung mendorong supaya kita enggak dikriminalisasi karena ada dasar hukumnya memberikan insentif fiskal. Misalnya insentif pembagian split, kalau sekarang kita kan levelnya di peraturan pemerintah bukan UU , susah jadi nanti kami dibilang melanggar UU,” ungkap Fatar Yani.

Fatar Yani menambahkan pemberian insentif  bisa juga diatur dalam peraturan selevel UU yang nantinya juga tidak hanya mengatur teknis dan strategis pengelolaan hulu migas, tapi bisa membuat badan yang menangani hulu migas punya payung hukum kuat untuk bisa menetapkan kebijakan.

Menurut Fatar, ketidakberdayaan SKK Migas saat ini adalah ketika kebutuhan insentif perpajakan ataupun penetapan First Tranche Petroleum (FTP) harus melalui berbagai proses yang melibatkan banyak pihak.

“Sekarang banyak terlibat (kementerian lain) misalnya masalah tax. FTP kami mesti ke menteri keuangan. Menurunkan FTP, kebijakan ada di Kementerian ESDM, tapi mesti minta izin dulu ke menteri keuangan karena terkait pembagian pusat dan daerah ke bagi hasil. Jadi berpengaruh kalau FTP diturunkan,” kata Fatar Yani.

Sementara itu,  DPR menyatakan akan membahas Revisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) pada pertengahan 2021. Pembahasan RUU ini akan simultan dilakukan bersamaan dengan penyelesaian RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).

Penyelesaian RUU Migas terus molor , padahal, RUU ini sudah masuk prolegnas sejak masa kerja DPR RI periode 2014-2019 tapi hingga sekarang masih tidak ada kejelasan.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR, mengungkapkan tahun depan Komisi VII akan menggenjot pembahasan revisi UU Migas. “Jadi, insya Allah akan segera dimulai pertengahan tahun depan ini secara simultan. Nanti pertengahan 2021, sudah masuk ke RUU Migas dan mekanisme yang sama akan kita jalankan (seperti RUU EBT),” kata Sugeng.

Sugeng menuturkan, tidak selesainya RUU Migas pada periode DPR RI 2014-2019 karena saat itu pemerintah tidak melampirkan Daftar Isian Masalah (DIM) yang dibutuhkan untuk melakukan revisi. Kata Sugeng, RUU Migas ini harus segera rampung agar ada kepastian bagi masa depan industri migas nasional, jadi tidak ada alasan produk hukum ini gagal diselesaikan hanya karena terkendala Covid-19.

“Presiden (Jokowi) sudah membalas dalam surpresnya, termasuk dari kementerian lain, tapi tidak melampirkan DIM. Itulah yang jadi problem sehingga sampai terjadi pergantian periode DPR (belum selesai juga),” kata Sugeng.(RI)