JAKARTA – Pembangunan jaringan gas kota (jargas) telah dilakukan Pemerintah dan   PGN (serta anak usahanya) sejak tahun 2009 sudah sewajarnya harus didukung keberlanjutannya karena sudah jadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan ragam alternatif energi.

Merupakan kewajiban bagi Pemerintah untuk menyediakan energi secara berkelanjutan, dengan harga terjangkau serta ramah lingkungan, maka pengembangan jargas harus didukung oleh seluruh stakeholder/pemangku kepentingan yang lintas sektoral.

Itulah yang harus dilihat dari kehadiran Jargas bukan semata-mata sebagai pengganti LPG 3 kg bersubsidi. Program jargas sendiri bukan merupakan program konversi LPG, namun program ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih preferensinya mendapatkan energi. Modernitas kehidupan layaknya masyarakat di Negara Maju merupakan bonus tambahan bagi masyarakat yang sudah memilih jargas.

Namun demikian tidak sedikit tantangan membangun jargas yang hingga kini baru terbangun sebanyak 516.720 sambungan yang didanai APBN dan 118.718 sambungan rumah (SR) didanai oleh badan usaha tersebar di 18 provinsi dan 64 kabupaten/kota.

Yapit Saptaputra, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas, mengungkapkan sebenarnya pemerintah telah menugaskan PT PGN, Tbk, Subholding Gas Pertamina untuk membangun jargas dengan total 4 juta SR di seluruh Indonesia tahun 2024 sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Menurut dia sebagai produk substitusi, tantangannya antara lain bagaimana memberikan layanan prima kepada masyarakat secara non stop dan tentu saja dengan harga yang bersaing dengan pemakaian LPG non PSO.

“Bilamana dikembangkan pada daerah yang infrastrukturnya sudah siap maka akan tidak membutuhkan capex yang besar, namun bila dikembangkan secara merata pada 34 Provinsi dan 514 Kab/Kota maka dibutuhkan komitmen dukungan finansial yang sangat besar. Keberhasilan pengembangan program jargas sangat membutuhkan usaha-usaha yang lintas sektoral,” kata Yapit, Kamis (29/9).

Hal itu bisa juga diawali dengan kerjasama antara subhloding hulu (SHU) dan subholding gas/PGN berupa komitmen alokasi gas bumi untuk jargas dengan harga khusus. Sebaran WK dari SHU Pertamina sendiri tersebar merata se Indonesia, maka sebaran dari jargas sendiri akan lebih merata dibanding jargas existing. Penggunaan volume untuk jargas sendiri porsinya sangat kecil sehingga tidak akan mengurangi keekonomian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hulu migas dalam mengembangkan lapangan gas. “Bagi KKKS non SHU Pertamina, tentu saja dukungan-dukungan seperti ini akan membangun citra positif kepada stakeholder baik itu didalam maupun luar negeri,” ungkap Yapit.

Menurut dia dengan komitmen atas alokasi dan harga, maka PGN sebagai subholding gas akan mempunyai keleluasaan mengembangkan lebih jauh jaringan gas kota yang saat ini belum ada jaringan pipa distribusi sebagai backbone infrastruktur existing jargas. Beyond pipeline merupakan pengembangan lebih jauh atas wilayah-wilayah yang belum ada jaringan pipa distribusi, bisa berbentuk perniagaan CNG atau pengembangan perniagaan skala mini LNG. Bagi SKK Migas dan BPH Migas akan sangat membantu mengoptimalkan lifting gas bumi untuk peningkatan pemakaian gas domestik.

Yapit menyatakan keberhasilan PGN dalam mengembangkan jargas secara masif, selain akan mengurangi subsidi LPG namun akan menjadi unit bisnis yang bisa memberikan profit, apabila sektor non rumah tangga/ hotel, restoran dan kafe (HOREKA) bisa menjadi pengguna jargas dan terlayani dengan baik.

Program jargas untuk sektor rumah tangga dan HOREKA akan menjadi favorit dengan nilai kemudahan operasional dan efisiensi biaya bila dibandingkan pemakaian LPG. Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi BUMD untuk ikut mengembangkan jaringan gas kota pada wilayahnya masing-masing dan berpotensi menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Provinsi/Kabupaten/Kota yang mengembangkan atau Badan Usaha Swasta yang ingin melakukan diversifikasi usahanya. (RI)