JAKARTA – Transisi energi adalah sebuah keniscayaan. Indonesia sendiri sekarang jadi salah satu negara yang paling terlihat “ngotot” merealisasikannya padahal cukup banyak tantangan yang menghadang. Salah satunya adalah kebutuhan biaya.

Tentu semua mata bakal tertuju kepada PT PLN (Persero) untuk urusan transisi energi di sektor ketenaglistrikan. Tidak mau tinggal diam, manajemen PLN pun menginisasi berbagai strategi untuk mewujudkan target transisi energi. PLN membeberkan butuh investasi sekitar US$157 miliar sampai dengan tahun 2040 untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060. Kebutuhan dana serta penerapan teknologi memang cukup mendesak. Untuk itu PLN mengedepankan stragegi kolaborasi.

Gelaran COP28 yang dihelat di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) pada awal Desember lalu menjadi panggung bagi PLN untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah dan sedang melakukan transisi energi melalui kolaborasi yang apik dengan berbagai pihak baik nasional maupun internasional.

Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, menyatakan upaya kolaboratif perlu didorong karena pengurangan emisi 1 ton CO2 di Indonesia sama berpengaruhnya dengan pengurangan emisi di belahan dunia lain. “Maka, kami tidak bisa menjalankan transisi energi ini sendirian,” kata Darmawan disela COP28 beberapa waktu lalu.

Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), PLN terlibat dalam ratusan proyek transisi energi. Salah satunya adalah penambahan kapasitas pembangkit energi bersih dan Green Enabling Transmission untuk memastikan pasokan listrik disalurkan secara adil dan merata untuk seluruh masyarakat Indonesia. Manajemen PLN mengklaim dengan dukungan green financing country platform PLN mampu mengekspansi proyek EBT kami hingga 21,6 Giga Watt (GW).

“JETP menjadi salah satu platform yang mampu mengakomodir kebutuhan ini. JETP juga menjadi bukti bahwa seluruh pemangku kepentingan menjadi bersatu dalam penyelesaian tantangan transisi energi,” ujar Darmawan.

PLN telah mendesain skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang akan menambah kapasitas pembangkit EBT hingga 75% dari total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada tahun 2040 mendatang.

PLN sendiri sangat agresif menjemput bola menginisiasi berbagai kerja sama yang disepakati di Dubai. Misalnya dengan Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP), The US National Renewable Energy Laboratory (NREL), Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dan Asian Development Bank (ADB), Cirebon Electric Power (CEP), dan Indonesia Investment Authority (INA).

NREL yang merupakan pusat pengembangan EBT asal Amerika Serikat yang dalam hal ini juga bertindak sebagai sekretariat interim Global Power System Transformation. Kerja sama ini nantinya akan memuat terkait studi pengembangan control center PLN. Kedua belah pihak akan mengkaji integrasi sistem jaringan Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.

Kemudian kerja sama dengan GEAPP dalam pengembangan proyek potensial dalam penurunan emisi karbon secara signifikan dalam sektor ketenagalistrikan. Khususnya dalam menggantikan pembangkit yang selama ini berbasis energi fosil ke energi domestik sesuai dengan potensi wilayah. PLN bersama GEAPP akan mengakselerasi dedieselisasi, infrastruktur kendaraan listrik dan juga pengembangan EBT di Indonesia.

Selanjutnya kesepakatan dengan PT SMI dan KfW untuk memanfaatkan Project Development Facility (PDF) yang dikelola oleh PT SMI untuk proyek-proyek Pumped Storage Hydroelectric Power Plant dalam rangka percepatan transisi energi di Indonesia. Nantinya KfW bersama PT SMI akan memberikan dukungan dalam bentuk Feasibility Study dan Environmental & Social Scoping pada tahapan persiapan proyek PLTA Grindulu Pumped Storage 4×250 MW dan PLTA Sumatera Pumped Storage 2×250 MW.

Selanjutnya kesepakatan antara PLN bersama CEP, ADB, dan INA mengupayakan percepatan pemensiunan operasional PLTU Cirebon pada Desember 2035, lebih awal daripada Juli 2042. Upaya ini mampu menghindarkan emisi hingga 30 juta ton CO2.

Kemudian ada PLN Nusantara Power (PLN NP) salah satu Subholding PLN juga memperkuat kerja sama dengan Masdar, perusahaan energi asal Uni Emirat Arab (UEA). Keduanya sepakat mengkaji eksplorasi penambahan kapasitas terpasang untuk PLTS Terapung Cirata. Peluang ini sangat terbuka mengingat saat ini baru 4% dari maksimal 20% luas permukaan danau yang dimanfaatkan.

Tidak hanya itu, PLN bersinergi dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) dan ACWA Power untuk mengembangkan Green Hydrogen (hidrogren hijau) dan Green Ammonia (amonia hijau) terintegrasi di Indonesia. Dalam kolaborasi ini, PLN akan memasok listrik untuk Green Hydrogen Plant (GHP) yang bersumber dari pembangkit listrik berbasis EBT dengan cadangan dari pasokan listrik bersih tambahan lewat sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC). PLN akan menyediakan kapasitas jaringan transmisi untuk proyek koneksi Pembangkit Listrik EBT ke sistem industri hidrogen hijau serta bahan baku Green Ammonia.

Selanjutnya PLN sepakat dengan Elsewedy Electric, perusahaan listrik asal Mesir, untuk mengembangkan teknologi smart grid yang bisa mengintegrasikan sistem kelistrikan, menghubungkan sumber-sumber EBT ke pusat beban listrik dan menjadi solusi intermitensi pada pembangkit listrik EBT, seperti angin dan surya. Selain itu, di sisi hilir, kolaborasi ini mengakselerasi penerapan teknologi smart meter.

Dalam peningkatan kapasitas terpasang EBT di Indonesia tentu diperlukan jaringan transmisi yang kokoh dan fleksibel. Lewat pengembangan proyek smart meter, dari sisi instalasi maupun integrasi, PLN bisa meningkatkan penggunaan listrik EBT, khususnya yang memiliki intermitensi. Nantinya, smart meter menjadi kunci utama dalam peningkatan customer experience di era EBT.

” Tidak ada transisi energi tanpa transmisi. Dengan adanya transmisi yang kokoh maka kita bisa menyediakan affordable green energy ke masyarakat,” kata Darmawan.

Ahmed Sadek Elsewedy, CEO Elsewedy Electric mengatakan kerja sama dengan PLN merupakan dukungan konkret dari perusahaan kepada negara di seluruh dunia dalam menjalankan transisi energi yang berkelanjutan.

“Melalui kemitraan strategis dengan PLN, kami mendukung Indonesia dalam mempercepat akses listrik yang ramah lingkungan, membangun jaringan listrik cerdas sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim,” kata Ahmed.

Elsewedy Electric merupakan perusahaan global yang telah berkembang dari produsen produk kelistrikan lokal menjadi penyedia solusi infrastruktur terintegrasi. Elsewedy juga tercatat masuk ke dalam deretan perusahaan terbesar di dunia, yaitu urutan ke-69 menurut Fortune Global 500 tahun 2023.

Manajemen PLN dan Elsewedy Electric Global menyepakati kerjasama disela COP28. (Foto/Dok/PLN)

PLN juga menjalin kesepakatan bisnis dengan Hydrogen De France (HDF Energy) perusahaan hidrogen asal Perancis,. Keduanya bekerja sama dalam pengembangan Hydrogen Fuel Cell Hybrid Power Plant di Indonesia.

Tak hanya memproduksi hidrogen, keduanya juga mengembangkan utilisasi hidrogen melalui proses elektrolisa dan mengolahnya menjadi listrik untuk melayani daerah pelosok.

Lalu studi pengembangan pembangkit listrik baseload dan non-intermittent berbasis EBT, baterai, dan hidrogen. Termasuk potensi pembentukan Join Venture Company dalam pengembangan proyek EBT di daerah 3T (Terluar, Terdepan, Terpencil) khususnya di wilayah Indonesia Timur, dengan penekanan awal di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Dalam kalkulasi PLN, emisi sektor ketenagalistrikan di Indonesia saat ini sekitar 260 juta metrik ton. Jika dibiarkan, maka jumlah tersebut akan meningkat menjadi 1 miliar metrik ton pada tahun 2060.

PLN pun mendesain ulang Rencana Usaha Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) nasional dan menghapus rencana penambahan 13 Gigawatt (GW) pembangkit berbasis batu bara. Langkah ini mampu menghindarkan emisi hingga 1,8 miliar metrik ton CO2.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (marves) mengatakan kunci transisi energi adalah kolaborasi dalam hal pendanaan.  “Kita semua perlu berkolaborasi dalam menyelaraskan kemitraan pendanaan iklim. Hal ini membutuhkan upaya global untuk memitigasi krisis iklim,” ujar Luhut belum lama ini.

Bill Winters, Group CEO Standard Chartered, menegaskan Indonesia merupakan salah satu negara maju yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Dengan roadmap yang dimiliki oleh Indonesia dalam transisi energi tak hanya perlu dukungan, namun saat ini semua mata memandang tertuju ke Indonesia sebagai negara yang mumpuni dalam iklim investasi.

“Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara muda yang tumbuh dengan sangat cepat. Tidak ada negara lain yang telah melakukan percepatan dan langkah ambisius dalam transisi energi. Indonesia punya banyak program investasi yang jelas dan detail. Sudah saatnya kita mendukung dan mendorong kemitraan internasional untuk membantu Indonesia melaksanakan transisi energi,” tegas Bill. (RI)