JAKARTA – Pemerintah tidak bisa menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang tidak optimal dalam menjalankan program mandatory biodiesel. Hal ini terjadi lantaran legalitas yang belum jelas.

Djoko Siswanto, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan aturan sanksi berlaku bagi produsen yang tidak mampu memasok biodiesel kepada badan usaha penjual BBM. Serta badan usaha penjual BBM yang tidak mencampur solarnya dengan biodiesel.

Ditjen Migas sudah menjalankan tugas yakni mengenakan denda ke perusahaan dan melakukan penagihan, namun implementasi di lapangan tidak berjalan karena adanya silang pendapat terkait legalitas aturan sanksi.

“Saya jalankan tugasnya, kemudian ada waktu untuk dia (perusahaan) keberatan. Ada yang disetujui, ada yang masih proses. Secara hukum berapa kali dirapatkan, nampaknya menurut Kementerian Keuangan ini belum kuat hanya sekadar peraturan menteri (Permen),” kata Djoko di Jakarta, Selasa (14/1).

Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel dalam kerangka pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, pemerintah menetapkan sanksi berupa denda Rp6.000 per liter sesuai kewajiban dan pencabutan izin usaha pada badan usaha yang tidak menjalankan kewajiban.

Kementerian Keuangan menilai harus ada payung hukum dengan derajat lebih tinggi dalam menjalankan sanksi tersebut atau minimal setingkat Peraturan Pemerintah (PP). “Untuk menjatuhkan sanksi harus dalam bentuk peraturan yang lebih tinggi. Kalau bisa Undang-Undang (UU) atau minimal PP, jadi masih dispute di legal aspek,” ungkap Djoko.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2019 realisasi penyerapan biodiesel mencapai 6,26 juta Kiloliter (KL) padahal targetnya 6,7 juta KL. Tren tidak tercapainya serapan biodiesel sebenarnya terus terjadi. Pada 2017, misalnya target 4,7 juta KL namun realisasi hanya 3,28 juta KL. Sementara untuk 2018, dari target 4 juta KL yang terealisasinya 3,041 juta KL.

Menurut Djoko, beberapa masalah sempat dialami para produsen biodiesel pada awal penerapan perluasan program mandatori biodiesel, utamanya adalah masalah logistik. Karena itu serapannya masih dibawah target. “Kan baru pertama kami menyalurkan banyak, ada beberapa kendala. Waktu itu harus ke 100 depot, kemudian turun jadi 68 depot, sekarang 29 depot. Terus dibantu dua kapal tangker di Balikpapan, baru disebar ke mana-mana. Jadi ada proses learning,” kata Djoko.

Pada 2018 pemerintah sempat menetapkan sanksi kepada beberapa badan usaha yang dinyatakan bersalah karena tidak optimal menjalankan program perluasan biodiesel 20% atau B20 berupa denda dengan total nilai Rp360 miliar. Saat itu ada 11 perusahaan yang sudah ditetapkan bersalah terdiri dari perusahaan penyalur Bahan Bakar Minyak (BBM) dan perusahaan penyalur Bahan Bakar Nabati (BBN). Namun sebagian besar yang dikenakan denda adalah para perusahaan penyalur BBN. Pertamina sendiri jadi salah satu perusahaan yang dikenakan denda.(RI)