YOGYAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga kini belum memberikan persetujuan terhadap penyesuaian harga BBM yang dijual oleh Pertamina berjenis Pertamax RON92.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, menyatakan sampai saat ini masih menunggu pergerakan harga minyak dunia. “Belum (naik harga Pertamax),” kata Arifin di Yogyakarta, Rabu (23/3).

Menurut dia pemerintah masih mau menjaga agar harga BBM tetap stabil. Sekaligus menunggu perkembangan harga minyak yang memang sangat fluktuatif. “Tergantung harga minyak internasional. Kita jaga stabil dulu,” ujar Arifin.

Pemerintah tidak mau gegabah dalam menetapkan kebijakan harga BBM. Arifin menjelaskan bahkan telah melakukan koordinasi terlebih dulu dengan negara-negara penghasil minyak terkait pasokan dan prediksi stabilitas harga.

“Tadi malam melakukan komunikasi dgn negara-negara penghasil minyak, organisasi penghasil minyak, suplai minyak aman,

Dia berharap stabilitas geoplolitik dan ekonomi internasional segera membaik agar harga-harga komoditas juga tidak mengalami kenaikan yang berlebihan. “Kita harapkan ketegangan geo politik segera bisa diredam dan stabilkan harga-harga energi dan harga komoditas kedepan, mudah-mudahan nggak lama,” ujar Arifin.

Kementerian ESDM sendiri baru saja merilis informasi kisaran harga BBM non-subsidi di beberapa negara ASEAN, antara lain Singapura Rp. 30.800/liter, Thailand Rp. 20.300/liter, Laos Rp. 23.300/liter, Filipina Rp. 18.900/liter, Vietnam Rp. 19.000/liter, Kamboja 16.600/liter, Myanmar Rp. 16.600/liter. (globalpetrolprices, 14 Maret 2022).

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, mengatakan harga BBM nonsubsidi sudah seharusnya mengikuti harga pasar. Pengguna BBM nonsubsidi adalah kalangan mampu sehingga kenaikan harganya tidak terlalu masalah karena mereka memiliki daya beli kuat. Apalagi setelah pandemi COVID-19 daya beli antara kelompok masyarakat atas dan bawah makin melebar. “Penaikan harga BBM nonsubsidi juga tidak akan mengganggu indikator ekonomi makro,” ujarnya, Senin (21/3).

Menurut Faisal, bila dilihat dari porporsi penggunaannya, BBM nonsubsidi tidak besar. Paling banyak penggunaannya dan subsidi terutama adalah Pertalite, kendati BBM dengan kadar oktan 90 ini tidak termasuk dalam BBM Penugasan.

“Inflasi BBM itu dipengaruhi terutama dari konsumsi Pertalite yang penggunaan lebih banyak dan mempengaruhi juga ke harga lain terutama sembako. Kalau Pertamax beda. Distribusi barang kan tidak pakai BBM Pertamax,” ujarnya.

Faisal setuju jika BBM RON 92 ke atas tidak perlu disubsidi agar mengurangi beban pemerintah. Apalagi pada 2022, Pertamina sudah menaikkan harga BBM nonsubsidi yang kadar oktannya di atas Pertamax seperti Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite.

David E Sumual, Kepala Ekonomi PT Bank Central Asia Tbk (BCA), mengatakan untuk menyesuaikan harga Pertamax, bisa dilihat kondisi harga BBM dari perusahaan pesaing Pertamina. Misalnya produk BBM RON 92 menurutnya pesaing Pertamina seperti Shell sudah mirip dengan harga market. “Pertamax dan Pertalite kan tidak dalam posisi harga minyak sekarang,” ujarnya, Kamis (17/3).

Menurut David perbedaan harga Pertamax – Pertalite dengan harga market sekitar US$20-40 per barel, bergantung pada pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS, yakni saat ini antara Rp14.200-Rp14.400 per dolar AS. “Harga Pertamax-Pertalite memang wajar untuk dinaikkan, apalagi produk sejenis dari perusahaan lain sudah dinaikkan,” katanya.

Namun, pemerintah melalui Pertamina sudah memutuskan bahwa harga Pertalite masih tetap tidak alami penyesuaian. Selain Pertalite, harga Solar Subsidi tidak berubah. Saat ini 83% dari volume BBM yang dijual Pertamina adalah BBM yang disubsidi negara. Sebagaimana barang subsidi pada umumnya, BBM subsidi diperuntukan bagi masyarakat yang kurang mampu, transportasi umum, dan usaha kecil.

Menurut David, volume Pertalite saat ini sudah paling tinggi. Dengan mobilitas masyarakat yang semakin baik, konsumsi Pertalite juga akan terus meningkat. Dengan volume yang semakin naik, beban yang harus ditanggung Pertamina juga akan semakin besar. Apalagi tanpa ada kenaikan harga Pertamax yang tidak disubsidi karena dikonsumsi masyarakat mampu.

“Sekali lagi, ini bergantung pada kursnya di berapa, harga minyak global kira-kira berapa? Sedangkan badan usaha lain sudah mengikuti dua variabel utama ini,” katanya.

David mengasumsikan baseline skenario harga minyak sekitar US$130-an per barel paling tinggi dan bertahan di level tersebut hingga akhir tahun. Sementara kurs rupiah terhadap dollar AS sekitar Rp14.600-an. Beban tambahan yang ditanggung Pertamina bisa mencapai Rp200-an triliun paling sedikit dalam setahun. Kondisi ini akan bergerak terus seiring pergerakan kurs dan harga minyak global. “Pertamina memang butuh suntikan likuiditas dan mereka sudah kelihatan beberapa kesempatan menyampaikannya,” kata David.(RI)