JAKARTA – Pemerintah diminta lebih fleksibel terhadap penetapan harga gas dengan melakukan evaluasi harga secara berkala untuk melihat hasil dari penetapan harga tersebut apakah memberikan dampak positif baik bagi sektor hulu dan hilir gas dalam hal ini industri yang mengkonsumsi gas.

Aris Mulya Azof, Indonesia Gas Society (IGS), mengapresiasi langkah pemerintah yang sudah menetapkan harga gas bagi industri tertentu namun dalam perjalannya ternyata dibutuhkan evaluasi. Baik dari sisi dampak terhadap industri maupun kepada produsen gasnya.

“Dalam implementasi harga gas bumi tertentu sebenarnya pemerintah mendeeita karena mekansime pemerintah memproteksi sisi hulu, sebenarnya pemerintah ingin berkobran dalam hal ini tapi harus ada batasan yang memugkinan pemerintah untuk bisa menjamin semuanya sampai semua pasar siap,” kata Aris dalam sesi diskusi bertema Balancing Interest of Upstream and Downstream in Determinating Indonesia Domestic Gas Price Policy di ICE BSD, Rabu (26/7).

Pemerintah memang harus fleksibel dan terbuka dengan adanya perkembangan industri gas yang cepat atau lambat harus menyertakan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) / Carbon Capture Storage and Utilization (CCUS) dalam kegiatan operasi migas maka secara otomatis akan berdampak kepada harga gas.

Kurnia Chairi, Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusu Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan posisi SKK Migas berada di tengah untuk menyeimbangkan kepentingan hulu dan hilir migas.

“Saya rasa US$6 per MMBTU agak sedikit realistis tapi saya setuju CCS kita menghadapi masalah bahwa biaya produksi akan meningkat. itulah mengapa SKK Migas mendiskusikan mengenai problem ini dan kita bisa menawarkan beberapa insentif tertentu yang bisa memfasilitasi oleh Kementerian Keuangan. Saya berharap ini menjadi bagian dari insentif fiskal,” ungkap Kurnia.

Arif Setiawan Handoko, Direktur Utama PT Pertamina Gas Negara Tbk (PGN), menuturkan sektor hulu harus memiliki program CCS/CCUS di masa depan yang akan membutuhkan lebih banyak biaya. Sehingga keseimbangan antara hilir dan hulu migas sangat dibutuhkan.

Industri tentu senang saja mendapatkan harga gas murah. Tapi tentu ceritanya akan berbeda apabila pasokannya tidak tersedia.

Menurutnya Apabila hilir menikmati harga murah namun dari sisi hulu justru menderita akan membuat pelaku usaha berhenti berinvestasi. Ujungnya pasokan yang dibutuhkan di sektor hilir tidak akan tersedia.

“Ini harus diseimbangkan, kalau kita memikirkan mengenai hilir dan berkorban di hulu maka kita gak punya gas nantinya. Perusahaan hulu akan mempertimbangkan kembali keputusan investasi mereka untuk mengembangkan area, di sisi lain kita nggak punya peningkatan gas yang masuk dalam pipa kami dan kemudian volume gas itu menurun secara signifikan,” jelas Arif.

Sementara itu, Triyani, Kepala Seksi Pemberdayaan Industri di Kementerian Perindustrian, mengungkapkan harga gas yang terjangkau memang berikan dampak positif terhadap industri. Kementerian Perindustrian sendiri secara aktif terus mendorong produktifitas industri setelah menikmati harga gas murah.

“Kami selalu melapor pada mereka apakah kita sudah mengembangkan kawasan industri atau kami mengkomunikasikan persyaratan gas kepada konsumen gas besar nasional,” ujar Triyani. (RI)