JAKARTA – Pemerintah terbukti tunduk dan pasrah didikte PT Freeport Indonesia (PTFI) dan seolah tidak berdaya menegakan aturan sehingga apapun yang diminta selalu dipenuhi. Terbaru, terkait hasil pemeriksaan pengelolaan Minerba periode 2020-2022 oleh BPK, dimana disebutkan terjadi potensi kerugian negara sebesar Rp 7,7 triliun akibat Pemerintah lalai dalam memungut denda keterlambatan pembangunan smelter. Sayangnya hal itu tidak banyak dibahas.

“Ini kan sejumlah uang yang tidak sedikit. Kok Pemerintah bisa lalai menagih denda tersebut. Ini kan layak untuk kita pertanyakan,” kata Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, Kamis (21/12).

Mulyanto menilai selama ini Pemerintah terlalu memanjakan PTFI dengan memberikan izin ekspor konsentrat tembaga dengan nilai tambah rendah. Padahal izin tersebut jelas-jelas menabrak UU Minerba. Ironisnya izin tersebut diberikan berkali-kali.

Juli 2023 lalu PTFI lalu kembali mendapat izin ekspor konsentrat selama enam bulan atau sampai bulan Desember 2023. Ini jelas secara langsung menabrak UU No. 3/2020, dimana batas akhir ekspor konsentrat menurut UU tersebut adalah bulan Juni 2023.

“Dugaan saya smelter PTFI ini juga belum akan rampung pada bulan Desember 2023 sebagaimana yang dijanjikan. Karena itu pasti akan minta izin ekspor konsentrat kembali untuk 6 bulan ke depan dengan melanggar UU,” jelas Mulyanto.

Di tengah kinerja merah seperti itu, tanpa malu-malu PTFI minta izin lebih dini perpanjangan tambangnya yang baru akan habis tahun 2041. Masih 18 tahun lagi. Padahal menurut Mulyanto, perundangan mengatur bahwa pengajuan izin pertambangan ini paling cepat lima tahun sebelum izin berakhir dan paling lambat satu tahun sebelum izin berakhir.

“Ini kan sepertinya pemerintah disuruh melanggar UU Minerba berkali-kali oleh PTFI. Yang jadi masalah, lho kok mau Pemerintahnya. Sungguh menyedihkan,” ujar Mulyanto. (RI)