JAKARTA – Kenaikan harga LPG non-subsidi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir, November 2021, Desember 2021, dan Februari 2022, dikhawatirkan akan mengakibatkan kelangkaan gas melon 3kg lantaran pelanggan yang tadinya menggunakan LPG non subsidi diperkirakan beralih membeli LPG gas melon tiga kg bersubsidi.

Mulynato, Anggota Komisi VII DPR RI, mengungkapkan jika hal itu terjadi maka gas kemasan 3kg dapat mengalami kelangkaan yang mengakibatkan harga di tingkat pelanggan melebihi HET (harga eceran tertinggi).

“Hal tersebut sangat mungkin terjadi. Sekarang ini saja sekitar 12 juta pelanggan gas melon 3kg adalah mereka yang tidak berhak,” kata Mulyanto, Jumat (4/3).

Mulyanto menuturkan pandemi COVID-19 ini belum pulih, ketika mendapat tekanan harga, pelanggan LPG non-subsidi ini akan mencari jalan keluarnya sendiri yaitu membeli LPG bersubsidi yang lebih murah.

Hal ini dimungkinkan, karena distribusi gas 3kg masih bersifat terbuka. Dijual bebas dengan pengawasan Pemerintah yang sangat minim. Semua orang dapat membeli secara mudah LPG bersubsidi di agen, pangkalan atau warung-warung. Tidak ada pembatasan khusus. “Karenanya LPG bersubsidi ini terbuka untuk dibeli oleh pelanggan yang selama ini menggunakan LPG non-subsidi,” ujar Mulyanto.

Dia mendesak Pemerintah bisa turun tangan untuk antisipasi berbagai permasalahan yang akan terjadi jika kondisi tersebut terus berlangsung.

“Harga LPG non-subsidi ini tidak mesti naik, karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas, akibat melonjaknya harga migas dunia, sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti: batu bara, gas alam dan CPO yang harganya juga melejit menuai wind fall profit,” jelas Mulyanto.

Sebagai contoh, lanjutnya, penerimaan negara dari ekspor batu bara dan CPO pada tahun 2021 sebesar US$55 miliar. Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar US$13 milyar. Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas.

Jadi melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik.

Mulyanto juga meminta Pemerintah untuk mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini.

Misalnya dalam jangka pendek, substitsui LPG dapat dilakukan dengan kompor listrik atau gas alam, apalagi kalau gas alam ini dijual dalam bentuk tabung. “Juga peningkatan eksplorasi dan produksi migas di lapangan eksisting, karena dengan harga yang tinggi investasi migas menjadi semakin kondusif,” kata Mulyanto.

Sebelumnya Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga LPG non subsidi. Harga baru seluruh produk LPG non subsidi ini berlaku mulai tanggal 27 Februari 2022.

Irto Ginting, Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga SH C&T Pertamina, menjelaskan bahwa penyesuaian ini dilakukan mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas.

“Tercatat, harga Contract Price Aramco (CPA) mencapai US$775 /metrik ton, naik sekitar 21% dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021,” jelas Irto. (RI)