JAKARTA- Potensi bertambahnya biaya listrik untuk masyaraat ataupun penambahan subsidi listrik oleh pemerintah sangat terbuka. Hal itu seiring rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyelesaikan proses harmonisasi draf Peraturan Menteri ESDM soal Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap atau Rooftop photovoltaic. Jika harmonisasi selesai, merujuk draf permen baru PLTS Atap, PLN harus membeli 100% harga listrik sesuai ketentuan ekspor 100% bagi pelanggan PLTS Atap kepada PLN.

Salinan Lampiran Surat Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bernomor T-730/HK.01/SJN.H/2021 tanggal 22 Juni 2021 akhirnya muncul juga. Dunia Energi mendapatkan softcopy lampiran surat tentang Peraturan Meneri ESDM belum memakai nomor itu pada Minggu (15/8) malam. Subjeknya sudah terang, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum, terdiri atas 10 bab dan 34 pasal.

Sesuai salinan surat, ada tiga pertimbangan Kementerian ESDM merancang draf revisi aturan soal PLTS Atap. Pertama, demi mendorong pemanfaatan energi surya yang ramah lingkungan untuk pembangkitan tenaga listrik menggunakan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yang digunakan untuk kepentingan sendiri, perlu dilakukan peningkatan mutu pelayanan pembangunan dan pemasangan sistem PLTS Atap.

Kedua, Permen ESDM No 49 Tahun 2108 tentang Penggunaan PLTS Atap oleh konsumen PT PLN (Persero) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Permen ESDM No 16 tahun 2019, sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti.

Ketiga, berdasarkan pertimbangan tersebut, kementerian perlu menetapkan Permen ESDM tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

Dengan mengingat beberapa klausul, draf Permen ESDM soal PLTS Atap itu merujuk beberapa aturan, antara lain pasal 17 ayat (2) UUD 1945, UU No 30 tahun 2007 tentang Energi, UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No 11 Tahun 20220 tnetang Cipta Kerja, dan Peraturan pemerintah No 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan Pemerinah No 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas PP N0 No 14 tahun 2014, dan Permen ESDM No 13 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian ESDM.

Setelah itu, Kementeran ESDM memutuskan dan menetapkan Permen tentang PLTS Atam yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

Pasal 1 ayat (1) draf permen ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sistem PLTS Atap adalah proses pembangkitan tenaga listrik menggunakan modul fotovoltaik yang dipasang dan diletakkan pada atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan milik pelanggan PLS Atap serta menyatlurkan energi listrik melalui sistem sambungan listrik pelanggan PLTS Atap.

Pasal 1 ayat (2) draf permen menyatakan bahwa pelanggan PLTS Atap adalah setiap orang atau badan yang memasang sistem PLTS Atap yang terhubung pada sistem tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

Pasal 1 ayat (3) draf permen menyebutkan bahwa pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum adalah badan yang memiliki izin melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan.

Pasal 1 ayat (4) draf permen menyebutkan meter kWH ekspor-impor adalah meter status atau elektronik yang dapat mendeteksi dan mengukur energi dan besaran listrik ekspor, impor, dan netto sesuai prinsip net metering.

Pasal 1 ayat (5) draf permen menyatakan bahwa Kilowatt hour ekspor adalah jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan pemegang IUPTLU yang tercatat pada meter kWh Ekspor-Impor.

Pasal 1 ayat (6) draf permen menyebutkan bahwa kilowatt hour impor adalah jumlah energi listrik yang diterima oleh sistem instalasipelanggan PLTS Atap dari sistem jaringan pemegang IUPTLU yang tercatat pada meter kWh Ekspor-Impor.

Pasal 1 ayat (7) pemegang perizinan berusaha jasa penunjang tenaga listrik yang selanjutnya disebut Badan Usaha adalah badan usaha yang memiliki sertifikat badan usaha di bidang ketenagalistrikan dan izin usaha penunjang tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Poin penting lainnya adalah pasal 1 ayat (11) draf permen yang menyatakan bahwa Dirjen EBTKE Kementerian ESDM memiliki tugas menyelenggarakan peruusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan panas bumi, bioenergi, aneka energi baru dan energi terbarukan, dan konservasi energi. Pasal 1 ayat (12) menyebut Dirjen Ketenagalistrikan bertugas menyelenggarakan peruusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengusahaan, keteknikan, keselamatan kerja dan lingkungan di bidang ketenagalistrikan.

Draf permen PLTS Atap juga menyebutkan tujuan penggunaan sistem tersebut, yaitu menghemat tagihan listrik pelanggan PLTS Atap, mendapatkan listrik dari sumber EBT, dan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.

Bagian Kedua draf Permen ESDM tentang Perhitungan Ekspor dan Impor Energi Listrik yang masih menimbulkan pertanyaan. Dalam draf ini, pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor, dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor impor dikali 100%.

Pasal 6 ayat (2) menyatakan perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan nilai kWh ekspor.

Pasal 6 ayat (3) dalam hal jumlah energi listrik yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor pada bulan berjalan, selisih lebih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan untuk listrik bulan berikutnya.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap

Pasal 6 ayat (4) perhitungan selisih lebih sebagai pengurang tagihan listrik bulanberikutnya sebagaimana dimaksud ayat (3) berlaku selama enam bulan dan dilaksanakan pada periode: Januari sampai Juni dan dinihilkan pada Juli tahun berjalan. Juli sampai Desember dinihilkan pada bulan Januari tahun berikutnya.

Sementara itu, pasal 17 draf permen menyatakan di ayat (1) pemegang IUPTLU wajib menyediakan dan memasang meter kWh ekspor-impor eneri bagi pelanggan PLTS Atap yang telah memenuhi ketentuan wajib SLO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau Pasal 15.

Pada pasal 17 ayat (2) draf permen menyatakan Meter kWh Ekspor-Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dan dipasang oleh Pemegang IUPTLU paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak SLO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) diterima oleh Pemegang IUPTLU dari Pelanggan PLTS Atap.

Adapun pasal 17 ayat (3) draf permen menyebutkan biaya penyediaan dan pemasangan Meter kWh Ekspor-Impor energi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh Pelanggan PLTS Atap.

Kemudian yang penting juga adalah pada pasal 18. Sistem PLTS Atap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tidak dikenai biaya kapasitas (capacity charge) dan biaya pembelian energi listrik darurat (emergency energy charge) yang merupakan bagian dari biaya operasi paralel.

Adapun pada Pasal 19, draf permen ayat (1) menyatakan dalam hal Sistem PLTS Atap dibangun dan dipasang oleh Pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri, dikenai biaya kapasitas (capacity charge) yang merupakan bagian dari biaya operasi paralel. Ayat (2) pasal ini menyebutkan biaya kapasitas (capacity charge) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan setiap bulan. Sedangkan ayat (3) Biaya kapasitas (capacity charge) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan formula sebagai berikut: biaya kapasitas (capacity charge) = kapasitas total inverter dalam kiloWatt (kW) x 5 (lima) jam x tarif tenaga listrik.

Respons Pakar

Nanang Hariyanto, pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung, menilai upaya pemerintah mendorong penggunaan PLTS Atap dengan mengubah regulasi harga beli listrik dari semula 65% menjadi 100% akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PLN. Pasalnya, pelanggan harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi.

Menurut dia, jika dipasang PLTS Atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS Atap. Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp1.440,7 per KWh.

“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” katanya, akhir pekan lalu.

Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$4 sen per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh. “Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan kebawah. PLTU yang biasanya beroperasi 70-80%  karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60%. “Karena turun, keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” katanya.

Penggunaan PLTS Atap di salah satu pabrik di Indonesia.

Akibat dua faktor itu, BPP pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia rooftop hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara. Jadi beban APBN. “Akibat PV yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.

Menurut Iwa Garniwa, guru besar ketenagalistrikan FT-UI, jika melihat data statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8%, China 2,8% dan Jepang 3,3%. Bahkan Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5%. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia. Apalagi sebanyak 68% pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah. “Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan,” ujar Iwa.

Dia mengingatkan tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sedangkan dari sisi PLN, listrik harus beroperasi dengan handal, berkualitas baik, dan ekonomis. “Jadi sekarang kita masuk green energy. Tapi Green energy ini  mahal,” katanya.

PLTS Atap memang murah dan didorong untuk secara masif perkembangannya. Namun PLTS Atap bersifat intermitend atau tidak bisa berdiri sendiri. “Saya kasih contoh, jika tiba-tiba awan lewat pasokan turun ke sistem. Lalu siapa yang memikul itu?” imbuh dia.

Masuknya PLTS Atap secara masif jangan melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga. Saat Photovoltic (PV) memakai pemikulnya PLN, akan ada batasan, baik batasan menyangkut keandalan maupun batasan dari sisi harga. ”Di Indonesia itu ada 22 sistem, masing-masing sistem harus ada dibuat grid operasi,” katanya. (DR/RA)