JAKARTA—Indonesia tidak bisa secara tiba-tiba mempensiunkan PLTU hanya atas dasar transisi energi, menyusul sejumlah risiko yang dihadapi, termasuk biayanya yang sangat besar.

“Terus yang nanggung siapa?” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar bertajuk “Dampak Kualitas Udara Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Suralaya”, Selasa (12/09/2023).

Menurut dia, seluruh kalangan harus melihat solusi secara holistik dalam mempensiunkan PLTU. “Pengutamaan benefit dalam solusi tersebut harus diperhitungkan agar pemenuhan energi sistem kelistrikan terjaga,” katanya.

Pemerintah Indonesia, tegasnya, sepakat untuk mempensiunkan PLTU batu bara dan beralih ke energi bersih, namun harus secara bertahap dan sesuai dengan kemampuan. “Indonesia bisa belajar dari China,” jelasnya.

Pembangkitan listrik dengan batu bara sudah memanfaatkan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari PLTU guna menggerakkan roda ekonomi masyarakat serta membangun infrastruktur desa di sekitar PLTU. Seperti halnya untuk pembangunan jalan, jembatan, paving untuk pencegah banjir, dan tetrapod untuk penahan abrasi.

Sementara itu, Pemerintah mengungkapkan sejumlah tantangan untuk memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rangkaian Paris Summit 2023.

“Tantangan lainnya menyangkut cost of borrowing yang terhitung masih tinggi. Selain itu, investasi dalam infrastruktur untuk mendistribusikan energi juga perlu menjadi perhatian,” ungkap Sri Mulyani dalam akun Instagram pribadinya.

Analisis dari lembaga kajian TransitionZero mengungkapkan bahwa kebutuhan dana untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia cukup besar. RI paling tidak memerlukan US$37 miliar atau setara Rp569 triliun (kurs rupiah Rp15.396 per dolar AS) untuk menghentikan 118 pembangkit listrik batu baranya lebih awal. (RA)