JAKARTA – Indonesia mempunyai cadangan batu bara melimpah, namun penggunaannya sebagian besar masih dibakar untuk dijadikan listrik. Dengan besarnya tekanan internasional untuk menekan emisi, pemerintah memilih untuk mendorong hilirisasi. Namun hingga kini tidak ada proyek hilirisasi batu bara yang berhasil diwujudkan.

Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, mengungkapkan begitu bicara ke nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia mempunyai kelemahan besar.

“Kita tidak punya teknologi, kita membayar terlalu mahal. Misalnya nikel semua dari luar teknologinya, 90% RKEF dari China, HPAL juga dari sana untuk baterai. Pertama kali masuk di Indonesia 70-an di INCO itu dari Kanada sampai sekarang dipakai, lalu ada dari Jepang. Tapi mereka kalah bersaing harga. Kalau kita hitung berapa biaya untuk teknologi. itu besar sekali,” kata Irwandy disela diskusi, Kamis (14/3).

Ketidakberdayaan Indonesia untuk urusan hilirisasi batu bara terlihat jelas ketika Air Products memutuskan angkat kaki dari proyek hilirisasi bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan Kaltim Prima Coal (KPC). “Jadi masih panjang cerita nilai tambah batu bara. Air Product mundur dari kerja sama dengan PTBA, lalu dengan KPC produksi metanol juga mundur. KPC switch ke amonia, PTBA masih mencari mitra baru,” ujar Irwandy.

Sementara itu, Rachmat Makkasau, Ketua Indonesia Mining Association (IMA), menilai ada peluang untuk segera mengimplementasikan hilirisasi, jika memang kuncinya teknologi dengan kebutuhan biaya yang besar maka itu semua bisa di-cover dari pendanaan besar yang direncanakan untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Menurut Rachmat, isu batu bara selama ini disebabkan emisi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, tapi batu bara itu sendiri bukanlah emisi. Disisi lain, EBT memang tidak bisa dilupakan. Yang harus diingat adalah batu bara mempunyai peluang yang sangat besar dan itu sudah merupakan suatu kepastian dengan adanya cadangan yang ada.

“Jika menggunakan batu bara tidak perlu mengeluarkan uang secara agresif ke barang (telnologi EBT) yang masih mahal. 2045 akan bisa lebih cepat justru sustainable coal mining (emisi tidak ada) kenapa tidak? 500 tahun kita masih punya (cadangan batu bara),” ungkap Rachmat.

Jika sedikit saja pendanaan yang dialokasikan untuk riset teknologi hilirisasi, maka permasalahan sudah selesai. “Apa yang terjadi apa yang salah dengan batu bara. Enggak ada yang salah. Cuma kita yang harus memikirkan bagaimana membuat itu terjadi, karena memang mahal teknologinya,” kata Rachmat.(RI)