JAKARTA – Jepang adalah satu-satunya negara G7 yang masih aktif membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, baik di dalam maupun luar negeri, dan merupakan investor publik terbesar kedua di luar negeri di antara negara-negara G20 melalui lembaga keuangan publik (PFAs). Padahal, batu bara merupakan kontributor terburuk tunggal untuk perubahan iklim global, yang bertanggung jawab atas hampir setengah dari emisi karbon dioksida dunia. Selain itu, pembakaran batu bara melepaskan polutan udara mematikan yang menyebabkan penyakit serius dan kematian dini.

“Dengan mendukung proyek PLTU batu bara di negara-negara dengan peraturan yang lemah mengenai polusi udara, Jepang menerapkan standar ganda yang mematikan, yakni membiayai PLTU di luar negeri menciptakan polusi udara pada tingkat yang tidak akan diterima di Jepang,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (20/8).

Standar ganda dalam batas emisi untuk polutan udara berbahaya membuat pembangkit listrik batu bara yang dibiayai Jepang berpotensi menghasilkan racun ke udara hingga 13 kali lebih banyak untuk polutan mono-nitrogen oksida (NOx), 33 kali Iebih banyak pada polutan sulfur dioksida (S02) dan polusi debu 40 kali Iebih banyak daripada yang dibangun di Jepang.

Greenpeace telah mengeluarkan laporan yang mengungkapkan konsekuensi mematikan dari standar ganda tersebut, dalam hal penyakit serius dan kematian dini yang disebabkan oleh polusi udara, dan mengevaluasi berapa banyak dari kematian itu dapat dihindari jika proyek-proyek yang didanai oleh Jepang di luar negeri menerapkan batas emisi yang sama seperti yang baru seperti pembangkit listrik tenaga batu bara di Jepang.

Dampak standar ganda Jepang dalam batasan emisi dievaluasi dengan membandingkan emisi yang diproyeksikan dari proyek batu bara yang dibiayai Jepang di luar negeri dengan batas emisi dari pembangkit listrik batu bara domestik Jepang yang diizinkan atau sedang dalam penilaian atau perencanaan sejak Januari 2012. Meskipun standar emisi pembangkit listrik batu bara yang berlaku di Jepang cukup kompleks, di mana setiap pemerintah daerah di Jepang menetapkan standar yang berbeda dari standar nasional yang berlaku, batas emisi yang digunakan dalam penilaian dampak lingkungan (AMDAL) untuk proyek pembangkit listrik baru masih jauh lebih ketat dibanding dengan standar emisi di negara yang mereka biayai.

“Dalam kebanyakan kasus, data emisi dikumpulkan dari dokumen AMDAL proyek. Model ini diterapkan pada ke-18 pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibiayai oleh PFA Jepang di luar negeri selama periode Januari 2013-Mei 2019. yang berlokasi di Bangladesh, Chili, India, Indonesia, Maroko, dan Vietnam,” ungkap Bondan.

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa jika batas emisi rata-rata Jepang diterapkan tidak hanya di Jepang tetapi untuk semua pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri yang dibiayai oleh PFA Jepang, maka antara 5.000 dan 14.000 kematian dini akan dihindari setiap tahun.
Selama 30 tahun periode operasi pembangkit listrik tersebut, sekitar 148.000 dan 410.000 kematian dini akibat 18 pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibiayai oleh PFA Jepang dan beroperasi pada batas emisi yang buruk tersebut dapat dihindari.

Sebagian besar kematian ini akan terjadi di India, Indonesia, Vietnam dan Bangladesh, negara-negara di mana polusi udara berbahaya sudah menjadi masalah.

“Investasi Jepang dalam pembangkit listrik tenaga batu bara mempersulit negara-negara ini untuk mengurangi polusi udara dan memenuhi standar kesehatan masyarakat,” kata Bondan.(RA)