JAKARTA – Laporan terbaru Greenpeace Indonesia bekerjasama dengan Tropical Renewable Energy Center (TREC) Universitas Indonesia (UI) mengenai Jakarta Solar City memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan bagi Jakarta sebagai ibukota untuk menjadi sebuah kota yang maju dan berkelanjutan dengan mengedepankan pengembangan energi terbarukan khususnya energi surya.

Laporan tersebut mengkaji potensi pengembangan energi surya melalui sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (solar rooftop) dengan menganalisa potensi pasar dari rumah tangga, bisnis, dan industri di Jakarta.

“Ekspansi masif solar rooftop memungkinkan. Contoh simulasi Greenpeace di Jakarta bisa 60 km2 untuk solar rooftop dengan kapasitas 5,000 Wp,” ungkap Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, dalam acara diskusi yang digelar secara virtual, Senin (15/2).

Leonard mengatakan, animo warga Jakarta untuk memasang solar rooftop cukup besar,  yakni 84% pada skenario optimis dan 52% pada skenario realistis.

“Tentunya hal ini mensyaratkan insentif -insentif yang kongkrit baik pajak, kredit murah, feed in tariff, dan sebagainya yang mendukung,” kata Leonard.

Pengembangan energi surya di Jakarta diyakini tidak semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan energi namun juga sebagai upaya penurunan emisi serta polusi dari gas buang PLTU batu bara yang menjadi sumber utama pasokan listrik di Jakarta. Selain itu, aspek yang tidak kalah penting adalah penyerapan tenaga kerja, terutama di tengah kondisi pandemi yang menyebabkan banyak orang kehilangan mata pencaharian.

“Diproyeksikan dengan skema pesimis saja jumlah pelanggan yang ingin memasang mencapai 1,15 juta pelanggan rumah tangga. Dengan skema optimis, angka tersebut mencapai 2,4 juta,” kata Eko Adhi Setiawan, Direktur TREC UI.

Potensi pasar menjadi fokus dalam riset yang dilakukan oleh TREC UI dan Greenpeace Indonesia. Proyeksi pasar, penurunan emisi serta penyerapan tenaga kerja dibuat dalam tiga skenario utama, yaitu pesimis, realistis dan optimis. Sektor rumah tangga, bisnis dan industri menjadi sektor yang disasar karena besarnya demand listrik dari ketiga sektor tersebut.

Berdasarkan proyeksi, potensi kapasitas terpasang dari ketiga sektor mencapai 3,65GW, 4,8GW dan 8,4GW untuk ketiga skenario secara berurutan. Angka yang tinggi, mengingat potensi ini baru diambil dari satu provinsi saja. Beranjak dari kapasitas terpasang, kita dapat menghitung pula potensi pengurangan emisi gas rumah kaca yang mencapai 4,7 juta, 6,25 juta dan 11 juta ton CO2eq dalam setahun. Hal ini akan membantu Jakarta dalam mewujudkan target pengurangan emisi sebesar 30% hingga 2030. Bahkan dengan skenario optimis, pengurangan emisinya mencapai 31,1%, sedikit di atas target pemerintah daerah.

Dalam laporan tersebut juga diproyeksikan peluang penyerapan tenaga kerja dari produksi PLTS Atap. Dengan skenario realistis, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai 52.723 orang. Berdasarkan data dari PT Quint Solar Indonesia, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk EPC (Engineering- Procurement- Construction) pada pemasangan panel surya 10 MW sebanyak 98 orang selama satu tahun.

Pekerja dengan keahlian mekanikal mendapatkan porsi terbesar yaitu 40 orang, disusul keahlian electrical 20 orang, bidang sipil 15 orang. Dari data ini dapat diasumsikan bahwa 1 MW per tahun dibutuhkan 9,8 orang (10 orang) tenaga kerja.(RA)