KEPUTUSAN mengejutkan itu akhirnya datang juga. Pemegang saham PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, mendapuk Rinaldi Firmansyah sebagai komisaris utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), subholding Pertamina di sektor hulu (upstream) pada Jumat, 13 Juni 2020. Jebolan Institut Teknologi Bandung itu menggantikan Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina saat ini. Mantan Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) itu dikukuhkan sebagai pengawas kinerja PHE itu berdasarkan Keputusan RUPS tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan serta Pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris.

Selain Rinaldi, komisaris PHE lain yang dikukuhkan adalah Tumpak Simanjuntak, seorang pejabat fungsional di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung. Tak

terang apa alasan pemegang saham menahbiskan Tumpak sebagai anggota komisaris PHE. Adapun tiga lainnya adalah figur yang ditetapkan sebagai komisaris PHE pada 20 Januari 2020. Mereka adalah Sekretaris Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, mantan Direktur Utama PT Badak NGL Nanang Untung (kakak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati), dan Fadli Rahman, seorang profesional di sektor migas. Satu anggota komisaris PHE lainnya, yaitu Suwahyanto (Senior Vice President Project Development, Direktorat Megaproyek Kilang dan Petrokimia Pertamina), tergusur dari jabatan sebelumnya alias tidak diperpanjang.

Menarik untuk mencermati masuknya lagi nama Fadli di barisan anggota komisaris PHE yang saat ini statusnya naik jadi upstream subholding PHE. Sebelumnya, status PHE adalah anak usaha Pertamina di sektor hulu bersama delapan anak usaha lainnya, antara lain PT Pertamina EP, PT Pertamina EP Cepu, PT Pertamina Hulu Indonesia, Pertamina International EP, PT Elnusa Tbk, PT Pertamina Drilling Services Indonesia, dan PT Pertamina Geothermal Energy.

Kejutankah nama Fadli tetap masuk ke jajaran BOC upstream subholding PHE? Tidak juga. Fadli memang anak muda yang pintar. Saat ini dia juga ikut Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Sosoknya sederhana, tapi serius. Darah India, Madura, Arab, China, dan Pakistan mengalir dalam badannya.

Dunia Energi berupaya mendapatkan wawancara khusus dengan kelahiran Jakarta, 5 Juli 1986 itu. Yang bersangkutan juga awalnya bersedia untuk diwawancarai. Sayang, kesibukan dan konsolidasi upstream subholding PHE, doktor dari Colorado School of Mines belum siap untuk dihubungi. “Belum dikasih izin sama grup BOC, Kang. Mohon maaf,” tulis Fadli dalam pesan singkat kepada Dunia Energi.

Mengutip Energia PHE edisi Kuartal I 2020, diketahui bahwa Fadli memiliki sejumlah alasan terjun di bisnis migas: faktor keturunan, banyak tantangan mendalami ilmu migas, dan peran sektor migas sebagai penggerak roda ekonomi nasional.

Dalam pandangan pria bertinggi 177 cm itu, sektor migas nasional mengalami masa menantang saaat harga minyak dunia yang sedang turun. Sebelum harga turun ke level US$ 20-30 per barel, sektor migas nasional mengalami fase triple down, artinya down dari sisi produksi, cadangan, dan investasi. Cadangan migas pun sulit diakses, jauh berada di offshore, dan Indonesia Timur sehingga biaya produksi di lapangan tersebut mahal, termasuk lapangan di darat yang menua.

“Terlepas dari semua itu, saya rasa sektor migas Indonesia masih optimistis bisa bangkit asal didorong kebijakan tepat. Dari data yang pernah pelajari, kita masih banyak basin ada 45 persen-an. Masih ada idle wells dan field yang masih direaktivasi dan masih banyak peluang produksi dan efisiensi dari sisi operasi dan produksi yang bisa dicapai maupun ditingkatkan produktivitasnya,” ujar Fadli seperti dikutip Energia PHE.

Fadli juga tak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa industri hulu migas mengalami masa sunset. Apalai potensinya masih ada. Problemnya, saat yang bersamaan dari sisi fundamental adalah swith mindset karena kondisi saat ini berbeda dengan masa lalu. “Dulu mudah dicari, biaya produksi rendah, saingan di luar sedikit. Totally different dengan saat ini,” ujarnya.

Menurut dia, hal ini harus diimbangi dari sisi produksi yang tinggi dan pendapatan yang setinggi tinginya bagi negara. Banyak peluang yang bisa diberikan untuk meningkatkan investasi. Apalagi, kebijakan pemerintah saat ini dinilai tepat. Artinya, memberikan fleksbilitas kepada investor apakah mau menggunakan skema gross split maupun cross recovery. Investor boleh memilih insentif apa saja untuk mengoptimalkan produksi. “Fleksibilitas merupakan komponen yang utama untuk tingkatan invensi di sektor migas, termasuk percepatan perizinan, approval, dll itu hal itu sangat membantu sektor hulu migas,” katanya.

Karena itu, demi meningkatkan produksi minyak nasional, Fadli siap memberikan kontribusi kepada PHE. “Ini menjadi tantangan dan representasi generasi milenial bahwa kita bisa kontrubisi maksimal untuk bersama-sama bahu-membahu memajukan PHE, Pertamina, dan sektor migas nasional,” ujarnya.

Fadli merasa masih banyak opportunity di PHE. Dia harus belajar mengerti PHE lebih secara operasional, budaya, maupun secara working lebih baik lagi sebelum bisa memberi banyak saran. Apalagi, di mata dia, PHE memiliki peran sentral bagi Grup Pertamina untuk mencapai target produksi 400 ribu BOPD ke 1 juta BOPD dan gas dari 2,8 BSCF ke 4 BSCF.

Untuk mencapai target tersebut, berikut masukan Fadli bagi PHE.

Pertama, meningkatkan aset eksisiting PHE dengan memaksimalkan dan reaktifivasi idle wells, meminimalisasi buying times, dan optimasi biaya produksi.

Kedua, transformasi cadangan ke produksi percepatan pemboran melalui kerja sama aliansi strategis dengan perusahaan yang memiliki teknologi tinggi.

Ketiga, PHE meningkatkan eksplorasi, baik di wilayah kerja sendiri atau luar.

Keempat, perlunya inovasi-inovasi untuk meningkatkan produksi dengan cara transformasi seperti Enchanced Oil Recovery (EOR).

Kelima, perlunya PHE melepas anak-anak usaha yang memang penugasan tidak beroperasi namun menggerus keuangan. (DR)