JAKARTA – Pemerintah Indonesia menolak disebut sebagai biang kerok runtuhnya harga nikel dunia sepanjang tahun 2023 dan diperkirakan akan terus terjadi di tahun 2024 ini. Suplai nikel Indonesia ke dunia memang besar tapi bukan hanya Indonesia pemain nikel dunia.

Nurul Ichwan, Deputi Bidang Promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menjelaskan pergerakan harga nikel yang terjadi sekarang boleh jadi didorong oleh strategi negara-negara maju yang sedang mennggenjot pemanfaatan nikel.

“Misalnya ada gini, negara maju, mereka sebenarnya punya minyak, tetapi kemudian dia belum ambil dulu minyaknya secara maksimal, dia beliin dah tuh minyaknya ke timur tengah, dia simpan di negara dia untuk kemudian mengontrol. dia nggak menghasillkan secara dominan, tetapi begitu marketnya dia pengen harganya dibikin turun, ya dia suplainya tuh cadangan dia. kalau dia pengen bikin mahal, dia tahan. sehingga sekalipun dia beli dari orang lain, dia simpan, dia masih bisa punya pengaruh untuk melakukan itu,” jelas Nurul di Jakarta, Rabu (24/1).

Menurut dia tidak tertutup kemungkinan ada negara yang melakukan strategi itu sehingga kondisi yang ada sekarang bukan semata-mata akibat dari kebijakan Indonesia yang menggenjot produksi nikel.

“Boleh jadi ada negara-negara tertentu yang melakukan itu. tetapi Indonesia ini bagian dari negara yang mau jadi global supply chance atas itu, yang nggak sepenuhnya keputusan ada di Indonesia,” ungkap Nurul.

Pemerintah selama ini menerapkan kebijakan yang merespon permintaan pasar. Jadi ketika pasar memang membutuhkan nikel maka itulah kesempatan bagi Indonesia untuk terlibat langsung. Kalau kemudian nikel yang dibeli dari Indonesia ternyata hanya untuk dijadikan cadangan negara tertentu itu diluar kebijakan Indonesia sebagai penjual.

“Misalnya, ada negara yang dia industrinya lagi maju dan dia membutuhkan nikel, apakah salah indonesia berfikir ‘kita bisa mensuplai anda dengan nikel itu’ dan mereka beli dari kita. kalau kemudian dia simpen itu dan merasa cukup, tidak membeli lagi sementara suplai masih ada, itu kan mekanisme pasar. nggak ada yang bisa disalahin. yang salah adalah kalau kita nggak moving ke downstream, jualnya hanya ore saja,” ungkap Nurul.

Menurut Nurul meskipun Indonesia hanya menjual ore saja belum tentu akan memperbaiki harga nikel. Karena pada dasarnya yang mempengaruhi harga adalah mekanisme pasar.

“Kalaupun kita ngejual ore, apakah kemudian harga nikelnya bisa jadi lebih baik? sama saja. karena yang mempengaruhi itu adalah mereka yang selama ini membeli banyak dari indonesia kemudian harga naik, kemudian mereke ngerem karena situasi ekonomi dan pertumbuhan industrinya melambat. karena itu, praktis demandnya jadi turun, ya harga pasti akan turun juga,” tegas Nurul.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), menjelaskan komoditas nikel saat ini tengah jadi primadona dan sensitifitasnya tinggi sehingga anomali harga nikel sekarang merupakan hal yang biasa terjadi dan bagian dari siklus pergerakam harga dalam satu dekade terakhir.

Selain itu menurutnya harga nikel terlalu tinggi juga tidak baik bagi keberlanjutan jangka panjang industri turunannya.

“Kalau harga nikel terlalu tinggi sangat berbahaya. Kita belajar dari kasus Cobalt 3 tahun lalu, harganya begitu tinggi, orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Jadi ini kalau kita bikin harga ketinggian, orang akan cari alternatif lain, teknologi berkembang sangat cepat. Kita cari benar keseimbangan, supaya betul-betul barang kita ini (nikel) tetap masih dibutuhkan sampai beberapa belas tahun ke depan,” jelas Luhut.

Harga nikel turun lebih dari 40% dari tahun lalu. Nikel diperdagangkan di kisaran harga US$16.000 per ton, mendekati level harga terendah sejak 2021. (RI)