JAKARTA – Greenpeace Indonesia menyebut bahwa saat ini terdapat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan total kapasitas tambahan 45.365 megawatt (MW) di seluruh Indonesia. Penambahan pembangunan bervariasi, terdiri dari proyek 17. 825 MW ‘announced’, 17.930 MW ‘pre-permit development’, 4.400 MW ‘permitted’ proyek dan 5,210MW ‘under construction’.

“Diperkirakan total biaya investasi akan mencapai US$58.5 miliar atau Rp770 triliun,” ungkap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam acara diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Selain biaya investasi, komponen lain yang harus diperhitungkan, meliputi biaya bahan bakar, operasi dan pemeliharaan, juga internalisasi biaya kesehatan. Serta menghitung biaya eksternalitas lainnya, sehingga akan didapatkan angka biaya batu bara yang sesungguhnya .

Bondan mengatakan, berdasarkan perhitungan Greenpeace menggunakan penelitian Universitas Harvard, dampak kesehatan dari 45.365 MW pembangkit listrik tenaga batu bara adalah US$ 26,7 miliar atau setara dengan Rp351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU.

Estimasi biaya investasi dan biaya kesehatan dari PLTU, biaya tahunan Rp 351 trilliun jauh lebih tinggi dari alokasi APBN 2016 untuk sektor kesehatan yang mencapai sekitar Rp110 triliun. Perhitungan yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan bahwa biaya kesehatan muncul sebesar US$ 84,19/MWh PLTU. Hal ini setara dengan 55% dari total biaya PLTU batu bara yang mencapai US$152,65/MWh.

“Dengan mempertimbangkan biaya kesehatan juga dampak CO2 atau pemanasan global dari struktur pembiayaan PLTU, maka argumen batu bara adalah energi murah merupakan argumen yang menyesatkan karena total porsi biaya modal, biaya bahan bakar, biaya operasi, dan pemeliharaan hanya mencakup 38% dari biaya yang sebenarnya,” ungkap Bondan.

Dia menambahkan, di Indonesia pada 2008 pembakaran batu bara menyumbang sekitar 50% dari emisi C02 yang terkait sektor energi, 30% dari emisi PM10 dan 28% dari emisi NOx. Diperkirakan rencana proyek 45.365 MW PLTU batu bara akan menyebabkan kematian dini hingga 20.687 penderita/tahun di negara ini.

Jumlah ini kira-kira tiga lipat estimasi kematian dini saat ini, yakni 6.500 penderita/tahun yang disebabkan oleh stroke, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, serta penyakit jantung dan pernapasan lainnya pada anak – anak.

Setelah memasukan biaya kesehatan ke dalam struktur biaya PLTU, listrik dari batu bara tidak lagi menjadi sumber energi yang murah. Sebelum kalkulasi internalisasi biaya kesehatan dan CO2/pemanasan global, maka biaya listrik dari batu bara barulah sebesar US$ 51,22 / MWh. Angka tersebut lebih kecil daripada biaya investasi dari berbagai jenis energi terbarukan, kecuali panas bumi. Sebagai perbandingan, biaya energi angin baik onshore maupun offshore masing-masing sebesar US$ 78.25/MWh dan US$ 123.55/MWh.

“Biaya PLTU batu bara akan naik secara signifikan yakni US$ 152,65/MWh setelah biaya kesehatan dan CO2/pemanasan global diinternalisasikan ke dalam struktur biaya. Angka tersebut sudah melebihi biaya dari semua jenis pembangkit energi terbarukan. Misalnya, biaya biomassa dan solar PV masingmasing adalah US$ 112,76/MWh dan US$108,07/MWh,” tandas Bondan.(RA)