JAKARTA – Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan transisi energi yang akan mempengaruhi konsumsi batubara domestik. Selain itu, Indonesia masih mengandalkan 75-80% produksi batubaranya untuk ekspor ke beberapa negara seperti Tiongkok, India, dan Vietnam yang juga telah menetapkan target penurunan konsumsi agar selaras dengan target net zero emission (NZE)-nya.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang Indonesia perlu mengantisipasi potensi penurunan ekspor batubara Indonesia dengan memastikan transisi energi berlangsung secara adil, mencapai transformasi ekonomi yang berkelanjutan, serta melakukan pendataan dampak penurunan konsumsi batubara terhadap berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, lingkungan.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memperkirakan permintaan batubara domestik akan mencapai puncaknya pada tahun 2025-2030, setelah itu akan permintaan batubara domestik tersebut akan turun secara signifikan. Sementara, jika melihat tren permintaan ekspor batubara, diprediksi ekspor batubara akan turun setelah tahun 2025.
“Apabila permintaan domestik dan ekspor batubara turun, maka produksinya pasti turun. IESR mengestimasikan bahwa Indonesia punya waktu 5-10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan melakukan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia seiring dengan turunnya produksi batubara yang berpengaruh terhadap berkurangnya permintaan negara dan daerah penghasil batubara,” ujar Fabby, dalam seminar “Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah dan Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan” yang diselenggarakan oleh IESR, Rabu(27/9).

Fabby menekankan dalam memastikan transisi energi yang berkeadilan, setidaknya perlu memperhatikan tiga faktor yaitu keterkaitan antara ekonomi lokal dengan batubara, kesiapan sumber daya manusia yang ada, dan rencana mitigasi dengan mempertimbangkan opsi-opsi alternatif perekonomian yang bisa dikembangkan di daerah tersebut.

Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham Surya, mengatakan transisi energi akan berdampak terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia, seperti Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Berdasarkan laporan IESR berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim menemukan bahwa kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) sekitar 50% dan 70% di Muara Enim dan Paser selama satu dekade terakhir. Selain itu, dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batubara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah (APBD) hingga 20% di Muara Enim dan rata-rata 27% di Paser.

“Analisis modelling input-output kami di Kabupaten Muara Enim menunjukkan batubara hanya memberikan nilai tambah berupa kompensasi sekitar 20% bagi pekerja, dibandingkan 78% yang digunakan untuk perusahaan batubara itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kontribusi PDRB sektor pertambangan tinggi, antara 50% di Muara Enim dan 70% di Paser, tidak mencerminkan terdistribusinya manfaat bagi masyarakat lokal dan tidak banyak menimbulkan efek berganda (multiplier effect) yang besar,” kata Ilham.

Ilham menegaskan bahwa daerah penghasil batubara memerlukan transformasi ekonomi untuk memangkas ketergantungan tinggi terhadap ekonomi yang berasal dari batubara. Kajian IESR menemukan beberapa sektor unggulan yang bisa dikembangkan seperti di Kabupaten Paser, dapat mengembangkan Jasa Keuangan, Manufaktur dan Pendidikan. Sedangkan di Kabupaten Muara Enim, dapat mengembangkan manufaktur dan penyediaan akomodasi serta makan minuman.

Untuk memonitor dampak transisi energi terhadap sektor batubara, IESR mengembangkan platform pelacakan dampak batubara atau Coal Impact Tracker yang membuat tiga skenario masa depan batubara. Platform Coal Impact Tracker melacak dampak batubara dari berbagai sektor seperti kependudukan, ketenagakerjaan, kesehatan dan lain – lain. Adapun tiga skenario tersebut adalah skenario BAU (Business as Usual), skenario Best Practice Policy (BPS) dan skenario System Dynamic yang bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. Platform masih dalam pengerjaan dan rencananya akan dirilis pada Februari 2024.

“Platform yang akan bernama radarbatubara.transisienergi.id merupakan bentuk kontribusi IESR dalam mengedukasi pemangku kepentingan terkait melalui visualisasi informasi indikator-indikator ekonomi, sosial, lingkungan dan kesehatan yang penting. Pemerintah daerah, masyarakat di lokasi industri batubara dapat, pekerja dapat menggunakan platform ini untuk mengantisipasi dampak dan mempersiapkan antisipasinya lebih awal,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.(RA)