JAKARTA – Uji coba mekanisme baru dalam distribusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg telah dimulai. Distrubusi secara tertutup dengan memberikan subsidi langsung melalui kartu khusus diluncurkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di beberapa wilayah awal pekan ini.

Ruddy Gobel, Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Sekretariat TNP2K, mengatakan persiapan penerapan subsidi tertutup sudah dimulai sejak akhir 2018 dan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 22 April 2019, dimana dana sebesar Rp20 ribu sudah masuk ke rekening masing-masing rumah tangga yang berhak mendapat subsidi. Kemudian sudah bisa melakukan transaksi pembelian LPG di toko yang ditetapkan dan sudah ikut dalam uji coba.

Tahap kedua akan dilakukan pada 2 Mei 2019, rumah tangga penerima manfaat bisa memanfaatkan melakukan transaksi pembelian LPGi sampai 15 Mei 2019.

Menurut Ruddy, ada tiga metode pembayaran yang di uji coba dalam distribusi tertutup yang diikuti  14.193 rumah tangga, yaitu menggunakan e-voucher yang dikirimkan melalui SMS dengan bank mitra BNI. Kedua,  menggunakan biometric dengan bank mitra BRI. “Dan ketiga menggunakan KTP-EL dan biometric dengan bank mitra, Mandiri,” kata Ruddy, Selasa (23/4).

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan langkah pemerintah yang memulai distribusi tertutup patut didukung karena tepat sasaran langsung ke orang bukan barang. Jadi yang berhak bisa menggunakan LPG 3 kg,  karena selama ini tidak ada batasan pemakainya. Dampaknya menjadi beban badan usaha penugasan, dalam hal ini PT Pertamina (Persero).

“Subsidi diberikan kepada orang sudah pas, bukan kepada barang. Dengan subsidi Rp20 ribu, saya kira sudah cukup membantu untuk keluarga kategori kurang mampu sesuai dengan data yang dimiliki oleh Kementerian Sosial dan TNP2K,” kata Mamit kepada Dunia Energi, Rabu (24/4).

Menurut Mamit, dengan pelaksanaan distribusi tertutup, dana subsidi yang disiapkan pemerintah dalam APBN tidak akan bertambah. Pertamina juga tidak akan menanggung kerugian karena tidak harus menanggung sisa, jika terjadi kelebihan kuota LPG 3 kg. “Karena selama ini mereka harus menanggung kerugian akibat over kuota. Selain itu, potensi terjadinya penyalahgunaan LPG 3 kg bisa dikurangi,” katanya.

Namun demikian, Mamit mengingatkan karena ini pola distribusi baru maka pemerintah juga harus mewaspadai akan potensi berbagai masalah yang timbul.

Kementerian Sosial dan TNP2K harus jeli dan cermat dalam melakukan pendataan terhadap para penerima subsidi. Jangan sampai nanti kejadian kesalahan pendataan subsidi untuk listrik 450 VA dan 900 VA terjadi lagi. Selain itu juga dibutuhkan sosialisasi secara masif dan berkesinambungan kepada masyarakat dan toko pengecer.

Proses tersebut harus dilakukan secara bertahap dan harus dengan penuh sosialisasi dimana jangan sampai nanti menimbulkan kelangkaan sehingga bisa berdampak terhadap sosial masyarakat. “Apalagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Jadi timing harus tepat,” kata Mamit.

Pola distribusi LPG bersubsidi yang tepat memang mendesak dibutuhkan karena subsidi ini dianggap sebagai bom waktu yang siap meledak jika volume terus meningkat dan dibiarkan keuangan negara yang akan terbebani.

Dalam enam tahun terakhir saja volume LPG terus mengalami peningkatan. Dalam data Kementerian ESDM pada 2012 volumenya hanya 3,606 juta metrik ton (MT), tapi kemudian tumbuh menjadi 4,39 juta MT pada 2013. Setahun kemudian, 2014 volume tumbuh 14% menjadi 5,013 juta MT. Pada 2015 dengan volume menjadi sebesar 5,766 juta MT. Volume LPG subsidi meningkat 8% pada  2016 menjadi 6,25 juta MT. Kemudian pada 2017 volumenya 6,199 juta MT dan pada  2018 realisasi volume membengkak menjadi 6,552 juta MT dari target APBN hanya 6,450 juta MT. Pada tahun ini, konsumsi LPG 3 kg bersubsidi diproyeksi mencapai 6,978 juta MT.(RI)