JAKARTA – Selain mematok target tinggi untuk produksi minyak, pemerintah juga mencanangkan target ambisius untuk produkasi gas pada 2030. Bahkan produksi gas nasional dipatok meningkat dua kali lipat dibanding rata-rata realisasi produksi gas saat ini sekitar 6.000-an juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan dengan selesainya proyek gas Masela, proyek utama hulu migas dan penemuan lapangan migas baru lainnya akan menjadikan Indonesia kembali menjadi salah satu produsen gas utama dunia dan mendukung program pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dengan ketersediaan pasokan gas. “Serta menjadikan Indonesia berpeluang untuk kembali menjadi pemasok utama LNG dunia,” kata Dwi, Rabu (4/3).

Pada Visi Bersama Hulu Migas 2030, produksi minyak ditargetkan mencapai satu juta barel per hari (bph) dan produksi gas mencapai 12.300 MMSCFD. Dengan target tersebut kekhawatiran adanya defisit gas pada tahun-tahun mendatang sebagaimana diprediksikan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) diproyeksi tidak akan terjadi.

Sepanjang 2015-2019, SKK Migas mampu mempertahankan produksi migas diatas target RUEN melalui optimalization work programe dengan berbagai cara untuk mencapai operational excellence melalui antara lain, Filling The Gap (FTG), Production Enchancement Technology (PET), Management Work Through (MWT), Optimisasi Planned Shutdown dan lainnya maka produksi gas dapat dipertahankan di level yang tinggi pada tahun 2019 mencapai 7.254 mmscfd dengan lifting sebesar 5.923 mmscfd.

Padahal berdasarkan RUEN, produksi gas di Indonesia akan terus menurun karena decline rate secara alamiah sebesar 20% per tahun.

Indonesia telah memainkan perannya di pasar LNG sejak 1977 dengan menjadi salah satu eksportir LNG terbesar di dunia. Seiring dengan penurunan produksi gas dan kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan pengunaan gas ke pasar domestik dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan mendukung peningkatan daya saing industri dalam negeri, maka kontribusi Indonesia di pasar LNG dunia terus mengalami penurunan.

Dari total produksi gas tahun 2019 sebesar 6.140 BBTU, penyaluran dalam bentuk LNG secara keseluruhan mencapai 2.025 BBTU dengan alokasi untuk domestik sebesar 508 BBTU dan LNG ekspor sebesar 1.417 BBTU.  Saat ini kapasitas kilang LNG di Indonesia sebesar 16 MTPA yang berasal dari LNG Tangguh 7,6 MTPA dan LNG Bontang 8,6 MTPA. Kapasitas kilang LNG akan bertambah sebear 13,3 MTPA jika proyek train 3 Tangguh dengan kapasitas 3,8 MTPA dan Abadi LNG (Masela Project) sebesar 9,5 MTPA selesai dibangun.

Giant discovery gas di Saka Kemang pada 2019 serta selesainya revisi rencana pengembangan Blok Masela pada Juli 2019 semakin menambah optimisme akan masa depan industri hulu migas Indonesia dengan gas yang menjadi dominan dibandingkan minyak.

SKK Migas saat ini telah memiliki empat strategi untuk meningkatkan produksi migas nasional, yaitu, mempertahankan tingkat produksi existing yang tinggi, transformasi sumberdaya ke produksi, mempercepat chemical EOR dan eksplorasi untuk penemuan besar.

“SKK Migas telah mengidentifikasi 12 area yang berpotensi memiliki kandungan migas dalam jumlah yang besar dengan rincian 6 area di Indonesia bagian barat, 4 area di Indonesia bagian timur dan 2 area di laut dalam,” ungkap Dwi dalam keterangan tertulisnya.

Selama ini pasar ekspor utama LNG Indonesia adalah China, Jepang, Korea Selatan, Thailand dan Taiwan yang dipasok dari kilang LNG Badak dan LNG Tangguh.

Penyelesaian proyek utama hulu migas dan mega proyek Abadi Masela dimasa mendatang Indonesia akan kembali menjadi salah satu produsen utama LNG dunia yang dapat semakin meningkatkan kontribusi hulu migas pada peningkatan pasokan untuk industri nasional maupun memasok kebutuhan LNG dunia sehingga akan semakin meningkatkan devisa negara.(RI)