JAKARTA – Pemerintah diminta mengkaji ulang pengenaan biaya royalti untuk batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang. Apalagi batubara memberi kontribusi 40 persen biaya produksi listrik.

Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), mengatakan pemerintah sudah cukup baik dengan menerbitkan aturan untuk mendorong realisasi pembangunan PLTU mulut tambang.

“Namun ada hal yang lebih menarik, yakni berkaitan dengan royalti batubaranya terutama didaerah yang tidak terintegrasi dengan jalur interkoneksi. Royalti batubara sebaiknya dikurangi atau malah dibebaskan,” kata Budi kepada Dunia Energi, Senin (6/2).

Menurut Budi, pengurangan atau penghapusan royalti akan memungkinkan harga listrik lebih murah sehingga perekonomian sekitar akan berkembang.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power). Permen tersebut mengatur pola harga patokan tertinggi dan mekanisme pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power).

Selain mengatur mengenai acuan harga pembelian listrik di PLTU mulut tambang dan non mulut tambang, peraturan tersebut juga mengatur pola harga patokan tertinggi (HPT) dalam pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan kelebihan tenaga listrik (excess power). Penggunaan listrik excess power untuk memperkuat sistem kelistrikan setempat dapat dilakukan apabila pasokan daya kurang atau untuk menurunkan BPP Pembangkit di sistem ketenagalistrikan setempat.

Harga pembelian kelebihan tenaga listrik paling tinggi sebesar 90 persen dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Sehingga dapat meningkatkan peran captive power dalam menjaga ketersediaan daya listrik pada sistem ketenagalistrikan setempat.

Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), menegaskan pelaku usaha  mendukung segala upaya perbaikan dan percepatan proses pembangunan proyek kelistrikan 35 gigawatt (GW) pada umumnya, dan proyek PLTU mulut tambang pada khususnya.

“Karena akan benefisial untuk industi batubara secara general,” kata  Hendra.

Singgih Widagdo, Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), meminta agar skema penunjukkan langsung PLTU mulut tambang oleh PT PLN (Persero) segera direalisasikan. PLTU mulut tambang dianggap cukup efisien untuk mengakomodir kebutuhan listrik di daerah-daerah yang tidak terhubung dengan sistem transmisi.

“Lebih cepat lebih baik. Selain itu, pemerintah harus mengakomodir tiap batasan-batasan produksi batubars di masing-masing provinsi. Produksi IUP harus dioptimalkan untuk penuhi kebutuhan produksi industri dalam negeri,” tandas Singgih.(RA)