JAKARTA – Penetapan tarif listrik dengan memasukkan komponen harga batu bara dianggap tidak tepat karena   harga batu bara cenderung fluktuatif.

Harga batu bara acuan (HBA) pada Februari 2018 tembus US$100,69 per ton, atau naik 5,39 % dibanding Januari 2018 sebesar US$ 95,54 per ton. Padahal pada Februari 2016, HBA tercatat hanya US$50,92 per ton atau menjadi yang terendah sejak pemerintah mulai menetapkan HBA pada 2009.

“Kecuali harga batu bara DMO diatur atau ditetapkan rentang harganya, barulah HBA (harga batu bara acuan) itu bisa dimasukan dalam formula tarif adjustment,” kata Faby Tumiwa, Pengamat Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) kepada Dunia Energi, Jumat(23/2).

Pemerintah akan mereformulasi tarif listrik dengan memasukkan komponen harga batu bara. Selama ini, formula penetapan tarif dengan memasukan tiga variabel utama, yakni inflasi, kurs rupiah dan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP)

Penggunaan variabel ICP lantaran pada saat itu proporsi penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel masih sangat besar. Sekarang kondisinya sudah berubah secara signifikan,  sekitar 60% pembangkit listrik saat ini menggunakan energi batu bara.

“Kalau formulasi tarif adjustment pakai harga HBA. Nilai adjustment bakal tinggi,” kata Faby. (RA)