KEBUTUHAN energi terutama di sektor ketenagalistrikan dipastikan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terus digenjot. Listrik sebagai penopang pembangunan nasional harus bisa dirasakan kehadirannya oleh seluruh lapisan masyarakat. Listrik yang dapat dijangkau menjadi kiblat pemerintah sekarang dalam setiap perencanaan pengembangan sektor energi.

 

Sumber energi yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan dalam penyediaan listrik yang terjangkau bagi masyarakat adalah batu bara. Sampai sekarang batu bara masih menjadi pilihan utama PT PLN (Persero) untuk menghasilkan listrik karena biaya produksi paling rendah dibanding sumber energi lain, seperti minyak, gas atau pun energi terbarukan.

Sampai sekarang batu bara masih menjadi pilihan utama PT PLN (Persero) untuk menghasilkan listrik.

Apalagi sampai sekarang PLN masih memberlakukan sistem merit order, sehingga batu bara akan tetap banyak dibutuhkan seiring prioritas PLN terhadap pengoperasian pembangkit dengan biaya terendah, dalam hal ini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dibandingkan pembangkit listrik lain yang lebih mahal. Dalam data PLN, harga listrik dari pembangkit listrik batu bara saat ini masih terbilang murah, yakni sekitar US$6 sen per kWh. Sementara harga listrik dari sumber tenaga lain berkisar antara US$ 8 sen – US$ 11 sen per kWh.

Murahnya harga listrik dari batu bara tidak lepas dari kebijakan harga Domestic Market Obligation (DMO) batu bara pembangkit listrik yang ditetapkan fixed US$ 70 per ton.

Pada Kepmen ESDM No. 1395 K/30/MEM/2018, harga jual batu bara untuk PLTU dalam negeri ditetapkan senilai US$70 per ton untuk kalori acuan 6.322 kkal/kg GAR atau menggunakan arga batu bara acuan (HBA). Apabila HBA berada di bawah nilai tersebut, maka harga yang dipakai berdasarkan HBA.

PLN sendiri merupakan pasar utama batu bara domestik. Untuk tahun ini dari target 485 juta ton produksi batu bara nasional, sebesar 92 juta ton diantaranya ditargetkan akan diserap PLN. Total ada 121 juta ton kewajiban penyaluran untuk dalam negeri atau DMO batu bara.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan porsi batu bara dalam bauran energi nasional masih cukup besar. Batu bara masih menjadi energi termurah hingga saat ini. Batu bara diperkirakan tetap jadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan energi sampai 2050.

Meskipun tren penggunaan batu bara terus menurun, secara keseluruhan konsumsi masih tetap akan tinggi.

“Pemerintah akan mengurangi secara bertahap. Porsinya pada 2050 mendatang diproyeksikan berkurang menjadi 25% dari total penggunaan sumber energi yang ada,” kata Arcandra.

Pada saat itu nantinya posisi energy mix batu bara hanya dibawah energi baru terbarukan (EBT) yang nemiliki porsi sebesar 31%, tapi masih diatas gas yang sebesar 24% dan minyak sebesar 20%.

Salah satu faktor tingginya konsumsi batu bara adalah penggunaan untuk pembangkit listrik karena paling murah.

“Selama lima tahun terakhir, pembangkit listrik tetap menjadi pelanggan pengguna batu bara terbesar di Indonesia,” ungkap Arcandra

Tumiran, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan batu bara sampai saat ini menjadi tulang punggung sektor kelistrikan nasional. Pasalnya hampir 60% listrik di Indonesia dihasilkan PLTU.

Apalagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 disebutkan batu bara domestik dimanfaatkan untuk listrik dan industri.

“Bila harga batu bara bisa efisien dan harga listrik kompetitif diharapkan industri domestik tumbuh karena ada faktor competitive advantage di harga energi listrik,” kata Tumiran.

Menurut dia, dengan tumbuhnya industri maka dengan sendirinya akan mempercepat penciptaan lapangan kerja, menghasilkan produk jadi yang bisa mensubstitusi impor atau bahkan bisa ekspor.

“Jika berjalan ekonomi tumbuh berbasis produktivitas, devisa menguat dan lapangan kerja tercipta,” jelas Tumiran.

Chairani Rachmatullah, Kepala Divisi BBM dan Gas Bumi PLN, mengatakan selama batu bara masih murah maka itu akan menjadi pilihan utama bagi PLN dalam memproduksi listrik karena tidak akan menganggu harga jual listrik kepada masyarakat. “Tetap saja batu bara yang 50% (dalam energy mix). Karena batu bara paling murah,” kata Chairani di Jakarta, belum lama ini.

Dalam data PLN untuk penggunaan batu bara sampai September 2018 telah mencapai 43,9 juta ton atau 64,21% dari energi fuel mix.

Sementara Kementerian ESDM mencatat hingga 31 Oktober 2018 total produksi batu bara sudah mencapai 409,9 juta ton dari target awal sebesar 485 juta ton. DMO total sebesar 90,71 juta ton, untuk kelistrikan 72,64 juta dan  industri lain 18,07 juta ton.

Hingga 31 Oktober 2018 total produksi batu bara sudah mencapai 409,9 juta ton dari target awal sebesar 485 juta ton.

Target DMO batu bara sendiri setiap tahun terus meningkat, jika pada 2017 target 121 juta ton maka tahun sebelumnya adalah 97,03 juta ton. Kemudian pada 2016 DMO ditargetkan sebesar 90,55 juta ton .

Produksi batu bara terbilang cukup besar. Sejak 2016 realisasi terus ditingkatkan yakni sebesar 456 juta ton dan meningkat menjadi 461 juta ton di 2017.

Penerimaan Negara

Batu bara juga mulai menjadi sumber besar penerimaan negara di sektor energi. Data yang masuk di Kementerian ESDM hingga 13 september, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) batu bara mencapai  Rp 27,455 triliun ini sudah jauh melampaui target yang dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 17,585 triliun.

Tren peningkatan PNBP batu bara ini mengikuti tren positif sejak tahun lalu dimana realisasi PNBP batu bara juga melampaui target karena realisasi mencapai Rp 23,762 triliun. Padahal targetnya dipatok Rp 17,858 triliun.

Jonson Pakpahan, Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, mengatakan batu bara akan menjadi kontributor terbesar dalam penerimaan subsektor mineral dan batu bara Indonesia. Pada tahun ini pemerintah mematok target PNBP Minerba sebesar Rp 32,01 triliiun . Dengan realisasi PNBP batu bara sampai 13 September saja mencapai 27,455 triliun, itu artinya batu bara paling tidak telah menyumbang 85% dari target PNBP Minerba tahun ini.

“Dari batu bara  tetap (mayoritas kontribusi). Mineral kan sebenarnya tidak banyak, jadi 75% batu bara, 25% mineral,” tandas Jonson.(RI)