JAKARTA – Kebanggaan Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel besar yang sering disampaikan pemerintah ternyata bisa berubah 180 derajat dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Indonesia bisa menjadi negara net importir bijih nikel pada tahun 2025.

Kondisi tersebut merupakan perkiraan terburuk yang bisa terjadi apabila pembangunan smelter terus berlangsung sehingga jumlahnya terus bertambah dikombinasikan dengan ketiadaan penemuan cadangan bijih nikel yang baru. Saat ini kebutuhan smelter akan bijih nikel sangat tinggi. Pertahun hampir 200 juta ton bijih nikel diproduksi untuk memenuhi kebutuhan smelter.

Irwandy Arif, Staf Khusus Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan saat ini memang baru puluhan smelter yang beroperasi, namun kini sedang dibangun smelter baru sehingga nanti jumlahnya akan terus bertambah.

“Kita kalau sekarang ada tiga kategori dimana jumlah smelter itu sudah lebih dari 100 terdiri dari smelter yang sedang beroperasi, sedang konstruksi dan sedang dalam perencanaan,” ungkap Irwady kepada Dunia Energi beberapa waktu lalu di Jakarta.

Rata-rata saat ini menurut Irwandy jumlah konsumsi bijih nikel oleh smelter mencapai 160 juta-200 juta ton per tahun. Jumlah itu dipastikan akan naik seiring dengan bertambahnya smelter yang beroperasi. “Kalau hanya hitung sedang beroperasi yang sekarang konsumsinya 160 – 200 juta ton per tahun bijih nikel itu kan abis kalau cuma 5 miliar ton,” ungkap Irwandy.

Perkiraan Irwandy ini sangat mengkhawatirkan. Jika tidak ada tindakan lebih lanjut maka Indonesia bisa kehilangan nikel yang saat ini cadangan terbukti sebesar 5 miliar ton karena sudah habis terlebih dulu diserap ratusan smelter yang telah beroperasi. “Katakan konsumsi 200 juta ton. tapi kalau beroperasi semua sampai konstruksi perencanaan semua di 2025 katakan konsumsi jadi antara 400-500 juta ton per tahun. jadi ya bisa2 cuma 5-10 tahun aja,” jelas dia.

Untuk itu pemerintah memilih untuk tidak lagi menerima izin pembangunan smelter nikel yang baru. Selain itu pemerintah juga sudah mempermudah upaya eksplorasi cadangan mineral.

“Kita nggak boleh pesimis resources masih ada 17 miliar perlu eksplorasi lebih lanjut agar bisa berubah jadi cadangan. Ada lagi green field ada lagi. ini masalahnya biaya eksplorasi ga murah sehingga perlu duit yang banyak, kebanayakan industri kan lebih memilih akuisisi,” jelas Irwandy. (RI)