JAKARTA– PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), perusahaan induk (holding) badan usaha milik negara di sektor industri pertambangan, berkomitmen untuk menggenjot ekspor komoditas pertambangan dan produk hilirisasinya demi meningkatkan arus masuk dolar AS dan memperkuat cadangan devisa negara. Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum, mengatakan kinerja ekspor perusahaan pertambangan di bawah holding industri pertambangan cukup baik.

“Ini sesuai dengan mandat pembentukan holding industri pertambangan untuk menjadi perusahaan kelas dunia,” ujar Budi di Jakara, Rabu (13/9).

Sepanjang Januari-Agustus 2018, holding BUMN industri pertambangan mencatat pertumbuhan nilai ekspor sebesar US$ 1,57 miliar atau 83% dari pencapaian akhir tahun lalu sebesar US$ 1,89 miliar.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum. (foto: dokumentasi dunia-energi)

Tahun ini, Inalum memproyeksikan penjualan ekspor mineral, batubara dan produk hilirisasinya sebesar US$ 2,51 miliar atau meningkat sebesar 33% dibanding realisasi 2017 sebesar US$ 1,89 miliar. Kenaikan tersebut terutama ditopang oleh kinerja ekspor PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).

eningkatan ekspor batubara Bukit Asam diestimasikan mencapai US$ 829 juta tahun ini dengan mengekspor 12,1 juta ton batubara atau naik 44,6% dibanding tahun 2017. Ekspor batubara Bukit Asam terutama dikapalkan ke negara-negara Asia seperti Tiongkok, India, Thailand, Hong Kong, dan Kamboja.

Arviyan Arifin, Direktur Utama Bukit Asam, mengatakan tahun ini Bukit Asam berhasil mengurangi biaya sebesar 10% dibandingkan tahun lalu sehingga laba perusahaan pun akan lebih baik. Bukit Asam memiliki strategi untuk mengurangi biaya salah satunya dengan menerapkan cara menambang yang lebih efisien.

“Kami juga berhasil merealisasikan devisa sekitar hampir US$ 850 juta. Kalau kita ekspor 100%, bisa sampai US$ 2 miliar, tapi ada kewajiban dalam negeri yang wajib kita penuhi,” katanya.

Hal yang sama juga dialami Aneka Tambang yang memproyeksikan kenaikan ekspor 66% senilai US$ 1,04 miliar dibandingkan tahun lalu US$ 630 juta. Proyeksi ekspor Aneka Tambang tahun ini terdiri atas 25 kilo ton nikel dalam feronikel, 4.05 juta wet metric ton bijih nikel, 1.25 juta wet metric ton bijih bauksit dan 12 ton emas.

“Kinerja produksi dan penjualan Aneka Tambang sampai pertengahan 2018 terutama karena optimalnya kegiatan operasional komoditas inti perusahaan, yaitu nikel, emas, dan bauksit,” ujar Hari Widjajanto, Direktur Operasional Aneka Tambang.

Untuk produksi dan penjualan feronikel Aneka Tambang pada tengah tahun 2018 didukung oleh stabilnya operasional pabrik feronikel Pomalaa di Sulawesi. Selain itu, perusahaan juga terus menjaga level biaya tunai untuk meningkatkan daya saing serta menjadi salah satu produsen feronikel global berbiaya rendah.

“Untuk produksi dan penjualan emas, Antam terus meningkatkan utilitas pengolahan pabrik pemurnian logam mulia. Sedangkan untuk produksi dan penjualan bijih nikel dan bijih bauksit, Antam mengoptimalkan penjualan sesuai dengan kuota ekspor yang diperoleh saat ini,” katanya.

Sementara itu PT Timah Tbk (TINS), turut menyumbang devisa yang diproyeksi senilai US$ 563 juta dengan mengekspor 28 kilo ton timah ke pasar Amerika Serikat serta negara-negara di Asia, Afrika, dan dan Eropa.

Riza Pahlevi, Direktur Utama PT Timah Tbk , mengatakan saat ini Timah terus mengembangkan eksplorasi untuk menggali cadangan yang lebih baik lagi sehingga produksi bisa berkelanjutan.

Terkait ekspor, menurut Riza, 90% hasil produksi ingot TImah eskpor ke sejumlah negara di dunia. Jumlah eskpor yang besar menempatkan Timah sebagai produsen terbesar kedua di dunia. “Jadi kami dapat mengontrol harga pasar dunia,” katanya.

Aktivits eksplorasi emas Antam.

Kegiatan operasi di PT Aneka Tambang Tbk. (Foto: dokumentasi dunia-energi)

Menteri BUMN Rini Soemarno berharap sumber daya alam Indonesia, khususnya mineral dan tambang, sangat kaya. Di industri tambang inilah, Indonesia memiliki daya saing yang sangat baik di dunia. Dengan mendorong hilirisasi di sektor mineral tambang harapan ke depannya akan memberikan keuntungan lebih bagi rakyat dan negara melalui ekspor produk akhir tambang.

“Kita punya sumber daya alam atau bahan baku. Pada akhirnya akan sangat menguntungkan nilai ekspor kita,” ujar Rini.

Inalum adalah holding BUMN pertambangan dan resmi dibentuk pada 27 November 2017. Anggota holding industri pertambangan terdiri atas Aneka Tambang, Bukit Asam, dan Timah.
Inalum memegang 65% saham Aneka Tambang, 65.02% saham Bukit Asam, 65% saham Timah, dan 9,36% saham PT Freeport Indonesia yang menambang emas dan tembaga di Papua.

Sampai dengan Juni 2018, Inalum membukukan Pendapatan Konsolidasi sebesar Rp30,1 triliun, tumbuh 59% dari tahun lalu. EBITDA Konsolidasi mencapai Rp 9.2 triliun, tumbuh 92% dari tahun lalu. Laba Bersih Konsolidasi mencapai Rp 5,3 triliun tumbuh 174% dari 2017 terutama ditopang dengan meningkatnya kinerja Aneka Tambang dan Bukit Asam. (EP/DR)