JAKARTA – Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9 dan 10 diminta dihentikan karena berisiko terhadap polusi lingkungan. Paparan satelit menunjukkan saat ini polusi Nox sangat tinggi di daerah Suralaya.

Greenpeace pun meminta para penyokong danpembangun pengembangan PLTU Suralaya unit 9 dan 10 mengkaji ulang kucuran dananya.

Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan selain lingkungan, kondisi ekonomi Indonesia dan pergeseran pengembangan energi seharusnya dijadikan parameter pertimbangan pembangunan pembangkit listrik.

“Rupiah terdepresiasi dan tren global berpindah dari energi kotor ke EBT,” ungkap Didit dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/10).

Pemerintah sebelumnya telah memutuskan untuk menunda berbagai proyek pembangkit listrik, khususnya di Pulau Jawa. Tidak hanya karena sudah kelebihan kapasitas, namun juga untuk menekan nilai impor dan mendukung penguatan nilai tukar rupiah.

Selain itu, kapasitas listrik juga sudah berlebih karena target konsumsi listrik PT PLN (Persero) masih belum mencapai target. Pada tahun lalu konsumsi hanya 6,8% dari target sebesar 8,3%.

Menurut Didit, koalisi masyarakat yang mencakup 16 lembaga telah mengirimkan surat terbuka kepada lembaga pembiayaan asal Korea Selatan, seperti Bank Ekspor Impor Korea (KEXIM), KDB Korea Development Bank (KDB Bank), Korea Trade Insurance Corporation (Ksure) untuk tidak membiayai proyek PLTU Suralaya.

Proyek PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 akan digarap PT Indo Raya Tenaga yang menggandeng Doosan Heavy Industries and Construction dan PT Hutama Karya. Pengembangan PLTU tertua di Indonesia diperkirakan menelan investasi 1,9 triliun won.

“Proyek ini seharusnya tidak berjalan. Lembaga pembiayaan Korea juga mengambil risiko besar jika memberikan dukungan pembiayaan,” papar Didit.

Dwi Sawung, Manager Urban dan Energi WALHI, mengatakan pendanaan proyek pembangkit batu bara saat ini berasal dari Jepang, Korea dan China.

Jepang membiayai proyek pembangkit hanya bagi negara yang memiliki sumber daya batu bara. Lain lagi Korea. Negara itu tidak lagi memberikan pembiayaan PLTU.

“Kalau proyek di lapangan ini kami lihat ada keanehan. Belum ada sumberĀ  pendanaan yang jelas, tapi sudah mulai Project, ” tandas Dwi.(RI/EP)