JAKARTA – Kerja sama antara PT Pertamina (Persero) dengan ENI perusahaan migas asal Italia dalam pengembangan green refinery berpotensi tidak berlanjut. Kebijakan Uni Eropa yang mengurangi dan secara bertahap melarang penggunaan kelapa sawit Indonesia jadi salah satu faktor terancamnya kelanjutan kerja sama kedua perusahaan.

Budi Santoso Syarif, Direktur Pengolahan Pertamina, mengatakan ada syarat pemenuhan sertifikasi pengadaan kelapa sawit sebagai bahan baku green refinery yang diminta ENI.

Saat ini sebenarnya akan dilalukan proses Basic Engineering Design (BED) karena Feasibility Study (FS) telah selesai.

“Feasibility Study sudah selesai. Setelah FS itu buat basic design. Tapi mereka mensyaratkan harus ada sertifikat buat CPO-nya,” kata Budi ditemui di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Rabu malam (9/10).

Salah satu sertifikat penting yang biasanya harus dimiliki badan usaha yang penggunaan kelapa sawit untuk green refinery adalah CPO yang digunakan harus memperoleh International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

Di sisi lain persiapan pembahasan kelanjutan kerja sama memiliki batasan waktu yang menurutnya akan segera berakhir pada tahun ini. Agar tidak terlambat Pertamina kata Budi akan kembangkan green refinery secara mandiri karema menurut Budi pada dasarnya teknologi green refinery sudah terbukti, jadi tidak tergantung pada ENI.

Sambil berjalan, Pertamina juga akan menggelar tender untuk mencari mitra lainnya untuk pengembangan green refinery. Mitra yang paling krusial saat ini adalah terkait perusahaan yang kuasai teknologi green refinery. “Ada tender nanti kita tender, untuk mitra,” kata Budi.

Green refinery pertama yang akan diprioritaskan lanjut Budi akan dibangun di dekat kilang Plaju. Ketersediaan lahan jadi faktor utama Plaju menjadi pilihan utama lokasi pembangunan. Selama ini lahan jadi masalah dalam proyek-proyek kilang Pertamina sebut saja Kilang Tuban yang sampai harus melalui beberapa proses peradilan.

“Dumai belum lah, kan ada urusan tanah segala macem. Kalau Plaju kan sudah ada. Karena sudah ada tanah di sana. Memang gampang pembebasan tanah?,” kata Budi.

Pertamina sebelumnya telah menandatangani Head of Joint Venture Agreement untuk pengembangan green refinery di Indonesia serta Term Sheet CPO processing di Italia.

CPO Processing Agreement  mengawali upaya Pertamina untuk melakukan pemrosesan CPO di kilang Eni di Italia yang sudah berpengalaman sejak 2014 untuk menghasilkan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) yang bisa digunakan sebagai campuran bahan bakar mesin diesel.

Dalam kerja sama tersebut ENI akan memasok green diesel ke Pertamina sambil menunggu penyelesaian pengembangan green refinery. Sementara CPO nya dipasok dari Indonesia.

Tapi di sisi lain, Komisi Uni Eropa sudah menentukan kriteria baru penggunaan minyak sawit untuk bahan baku pembuatan biodiesel di negara-negara Uni Eropa.

Dalam peraturan yang baru tersebut, minyak sawit dikategorikan sebagai produk yang ‘tidak berkelanjutan’ alias tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.(RI)