Bioremediasi Chevron

Salah satu kegiatan dalam bioremediasi.

JAKARTA – Indonesian Petroleum Association (IPA) menilai, telah terjadi kriminalisasi yang mengancam kelanjutan industri minyak dan gas (migas) nasional, dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang tengah ditangani Kejaksaan Agung.

Direktur Eksekutif IPA, Dipnala Tamzil mengaku sangat prihatin, atas perkembangan kasus bioremediasi yang telah membawa dampak, dan mengakibatkan penahanan beberapa karyawan Chevron tersebut.

“Kriminalisasi dalam operasi KKS (Kontrak Kerjasama) migas ini, akan menjadi preseden buruk dengan konsekuensi yang sangat luas bagi masa depan industri migas di Indonesia,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurutnya, tidak layak persoalan yang timbul dalam operasi migas yang bernaung dibawah KKS dengan pemerintah, dibawa ke ranah pidana. Karena setiap perusahaan anggota IPA, terlebih Chevron yang merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia, memiliki komitmen yang tinggi untuk beroperasi sesuai standar tertinggi, berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

“Karena KKS merupakan  kontrak bisnis, mestinya setiap sengketa yang timbul dari implementasi proyek, diselesaikan berdasarkan prinsip hukum  perdata, bukan pidana. Maka dari itu, dalam kasus bioremediasi Chevron, kami meminta penahanan beberapa karyawan yang bersangkutan, untuk sementara ditangguhkan,” tegasnya.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa tersangka, dalam kasus bioremediasi Chevron yang ditanganinya. Kejaksaan menilai, ada kerugian negara yang timbul, akibat penggunaan jasa bioremediasi untuk rehabilitasi lingkungan di wilayah operasi Chevron tersebut.

Namun tampaknya Kejaksaan Agung salah sasaran, dalam melakukan penyidikan kasus proyek bioremediasi Chevron ini. Mengingat kegiatan manajemen lingkungan itu sama sekali tidak dibiayai oleh keuangan negara, sehingga tidak ada potensi kerugian negara di dalamnya.

Bukan hanya itu, proyek bioremediasi Chevron merupakan proyek manajemen lingkungan hidup yang sukses, dan telah disetujui serta dimonitor oleh pemerintah. Namun entah mengapa Kejaksaan Agung menganggapnya bermasalah.

Vice President Policy Government and Public Affairs Chevron, Yanto Sianipar mengatakan, pihaknya menyayangkan penyidikan yang saat ini dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Karena sesungguhnya penyidikan tersebut bertentangan dengan kerangka kerja peraturan di industri migas.

Kerangka kerja industri migas bernaung di bawah Kontrak Bagi Hasil. Di bawah kerangka Kontrak Bagi Hasil, semua proyek yang dijalankan dan dapat di-cost recovery-kan (diganti oleh pemerintah sebagai biaya produksi, red) secara jelas menjadi wewenang BP Migas dan lembaga audit negara (BPK/BPKP).

“Lebih lanjut semua biaya terkait dengan program bioremediasi yang dijalankan Chevron saat ini, tidak dimasukkan ke dalam biaya cost recovery. Proyek itu ditanggung sepenuhnya oleh Chevron, sehingga tidak ada uang negara yang digunakan di sana,” kata Yanto lagi.

Beredar kabar, kasus itu mencuat karena ada ketidakpuasan dari salah seorang kontraktor, yang gagal memperoleh proyek bioremediasi dari Chevron. Kontraktor yang gagal itu lantas menggunakan jaringannya, untuk mempersoalkan proyek bioremediasi itu lewat Kejaksaan Agung.

Terkait kabar ini, Yanto hanya menegaskan bahwa Chevron telah menjalankan proses seleksi pemilihan kontraktor dalam proyek bioremediasi ini, secara ketat. Pemilihan  kontraktornya pun telah mendapat persetujuan BP Migas, dan sesuai dengan kode etik bisnis internal yang ketat, serta dipatuhi oleh seluruh karyawan.

“Maka dari itu, Chevron akan membela seluruh karyawannya yang telah bekerja sesuai aturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk yang telah menjalankan kode etik internal perusahaan,” tegasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)