JAKARTA – Pemberian kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dinilai tidak hanya penting untuk kesehatan keuangan PT Pertamina (Persero), namun juga bagi kelangsungan penyediaan BBM dalam negeri. Pertamina saat ini harus menanggung selisih harga jual solar bersubsidi sebesar Rp7.800 per liter karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mengalolasikan subsidi Rp500 per liter. Harga jual solar bersubsidi dijual Rp5.150 per liter, jauh di bawah harga solar nonsubsidi yang dijual Pertamina, Dexlite sebesar Rp12.950 per liter.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan jika subsidi basisnya UU APBN, maka pemberian kompensasi juga perlu berbasis regulasi. “Seharusnya ada payung hukumnya,” kata Komaidi, di Jakarta, Selasa (30/3).

Menurut Komaidi, saat ini yang paling utama adalah masalah kelangkaan solar harus tertangani dulu. Untuk itu, dia menyarankan agar kuota solar bersubsidi harus ditambah. “Risiko penambahan kuota sudah jelas, yaitu perlu tambahan subsidi,” tegas dia.

Komaidi menilai kelangkaan solar bersubsidi yang berlarut-larut tidak baik untuk stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Menurutnya, efeknya bisa tidak terduga dan tidak terkendali. “Dampaknya bisa meluas dan tidak terkendali. Saya kira penting ini menjadi perhatian,” tegasnya.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, sebelumnya meminta kepada pemerintah segera melakukan langkah strategis untuk mengatur barang subsidi. Hal ini merupakan persoalan penting karena harga BBM yang dijual Pertamina masih jauh di bawah harga keekonomian.

“Yang disubsidi pemerintah itu fiks hanya Rp500 per liter. Sisanya dibayarkan melalui kompensasi yang penuh ketidakpastian. Pertamina mengeluarkan uang dulu, ini berpengaruh ke cashflow perusahaan,” ujar Nicke, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR RI, Selasa (29/3).

Menurut Nicke, ketika konsumen menemukan perbedaan harga antara BBM subsidi dengan BBM nonsubsidi yang besar, maka tidak bisa dimungkiri pergeseran atau shifting konsumsi ke produk bersubsidi akan terjadi sehingga pada akhirnya bakal membebani APBN. “Tapi kan hari ini subsidinya tidak tepat sasaran. Makanya, hari ini jadi masalah. Solusi permanennya, sebaiknya memang subsidi langsung. Sehingga tepat sasaran,” kata dia.

Nicke menerangkan saat harga minyak sedang naik seperti sekarang ini maka di satu sisi pemerintah berkewajiban menjaga atau menetapkan harga jual BBM dapat terjangkau oleh masyarakat. Sayangnya, kondisi ini tidak bisa terus menerus dilakukan. “Begitu subsidi barang, ya jadi ada gap. Harga jual sekarang sepertiga dari harga market. Kami tahu untuk ke sana (mengurangi subsidi), tantangannya besar. Tapi kalau mau tepat sasaran dan tidak nambah beban masyarakat ya solusinya itu (penyesuaian harga BBM, red),” ujar Nicke.

Untuk menjaga kesehatan bisnis Pertamina, Komisi VII DPR mendesak pemerintah agar segera melunasi hutang subsidi yang belum dibayarkan kepada Pertamina yang jumlahnya tembus ratusan triliun. Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menuturkan jika pemerintah tidak segera membantu Pertamina maka perusahaan migas plat merah itu akan semakin terbebani apalagi pemerintah juga memutuskan untuk menahan harga BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat yakni Pertalite dan Pertamax.

“Komisi VII mendesak pemerintah agar kompensasi kepada Pertamina yang bernilai Rp100 triliun segera dibayarkan guna mencegah krisis likuiditas Pertamina yang dapat mengganggu pengadaan dan penyaluran BBM nasional,” ungkap Eddy.
Guna mengamankan cadangan energi nasional khususnya BBM, Komisi VII juga mendesak pemerintah dalam hal ini Dirjen Migas Kementerian ESDM RI agar segera menyiapkan roadmap dan infrastruktur Strategic Petroleum Reserves (SPR) untuk menciptakan cadangan BBM nasional dalam menunjang ketahanan energi nasional.

“Kami meminta Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, Kepala BPH Migas, dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) untuk menyiapkan analisa sensitivitas kenaikan harga BBM terhadap beban subsidi guna menyiapkan strategi-strategi dalam mengantisipasi dampak fluktuasi harga minyak dan gas dunia selambat-lambatnya pada tanggal 13 April 2022 dan disampaikan kepada Komisi VII DPR RI,” ujar Eddy.

Pemerintah sebelumnya telah meminta Pertamina dan PLN untuk menahan harga jual BBMdan tarif listrik pada 2020 dan 2021 telah berdampak terhadap kas negara. Pemerintah harus membayar total Rp109 triliun ke dua perusahaan pelat merah itu. “Secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp 109 triliun. Ini sampai akhir 2021,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Senin (28/3).

Sepanjang 2020, kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah karena menahan kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah Rp63,8 triliun. Pemerintah mencicil di tahun berikutnya sebesar Rp47,9 triliun. Khusus BBM masih ada sisa yang harus dibayarkan sebesar Rp15,9 triliun.

Kemudian pada 2021, harga kembali ditahan walaupun dari sisi global mulai ada kenaikan harga minyak dunia. Hal ini akhirnya menambah jumlah kompensasi yang harus dibayarkan sebesar Rp93,1 triliun. Maka dari itu, total kompensasi yang harus dibayarkan saat ini adalah Rp109 triliun, meliputi Rp84,4 triliun untuk BBM dan Rp 24,6 triliun untuk listrik.

“APBN mengambil seluruh shock yang berasal dari minyak dan listrik. Masyarakat tidak mengalami dampak namun APBN yang harus mengambil konsekuensinya,” kata Sri Mulyani.

Tambah Kuota

Komisi VII DPR RI sepakat untuk mengusulkan peningkatan kuota BBM solar bersubsidi serta minyak tanah pada tahun ini. Tambahan kuota akan segera disampaikan kepada pemerintah untuk bisa segera dieksekusi guna menghindari kelangkaan yang berpotensi terjadi jika tidak ada tambahan kuota.

Eddy Soeparno mengungkapkan kondisi yang ada saat ini kemungkinan besar kuota tidak akan mencukupi. Untuk memastikan pasokan aman maka Komisi VII menerima usulan Pertamina untuk menambah kuota BBM bersubsidi khususnya solar untuk diteruskan ke pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Komisi VII mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 2 juta kiloliter (KL) menjadi 17 juta KL dari kuota yang sudah ditetapkan 15 juta KL. Sementara untuk minyak tanah kuotanya ditambah 100 ribu KL menjadi 600 ribu KL.

“Berdasarkan kondisi real di lapangan atas paparan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, Kepala BPH Migas, dan PT Pertamina dan selanjutnya akan diagendakan pembahasan dengan Menteri ESDM,” kata Eddy.

Komisi VII DPR juga mendukung perubahan komposisi pemberian subsidi dan kompensasi BBM dengan meningkatkan porsi BBM subsidi yang lebih besar.

Nicke menambahkan dukungan DPR dan pemangku kepentingan (stakeholder) lain diperlukan apalagi saat ini kondisi perusahaan juga ditekan dari berbagai sisi terutama untuk bisnis hilir.

Munculnya kelangkaan solar subsidi adalah contoh nyata dari tekanan eksternal yang membuat perusahaan juga pada akhirnya harus ikut tertekan. Meskipun begitu Pertamina tetap harus menyediakan dana besar mencapai US$6 miliar (setara Rp84,6 triliun dengan kurs Rp14.400 per dolar AS) untuk mengamankan pasokan solar subsidi.

Menurut Nicke, meskipun saat ini perusahaan tengah mengalami tekanan berat akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Namun demikian, perusahaan harus tetap menjaga ketahanan stok BBM jenis Solar selama 21 hari. “Untuk menjaga stok 21 hari ini, Pertamina harus menaruh senilai US$ 6 miliar. Jadi cukup besar bagi cash flow kita untuk menjaga ketahanan suplai,” kata Nicke. (RI)