JAKARTA – Pengamat minyak dan gas bumi (migas) Drs Sutadi Pudjo Utomo meminta pengelolaan migas Indonesia dikembalikan ke bentuk Business to Business (B to B) sebagai perbaikan pasca dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Berbicara dalam diskusi  “Mekanisme Production Sharing Contract (PSC); Proteksi Kepentingan Pemerintah dan Investor” di Jakarta, Kamis, 13 Desember 2012, ia berpendapat wajar Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan BP Migas.

Karena sejak beralihnya Kuasa Usaha Pertambangan migas dari Pertamina ke BP Migas berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas), pengelolaan migas Indonesia berubah menjadi G to B (Government  to Business), tidak lagi B to B.

Model pengelolaan G to B itu salah besar, dan menunjukkan inkonsistensi dalam pelaksanaan PSC yang menjadi patokan pengelolaan migas di Tanah Air. Penyerahan Kuasa Usaha Pertambangan ke BP Migas, telah menghilangkan fungsi pengelolaan dari negara, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Karena BP Migas hanya memegang fungsi pengendalian dan pengawasan, tanpa diserahi fungsi pengelolaan. Selama BP Migas ada, fungsi pengelolaan diserahkan kepada perusahaan-perusahaan migas atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) migas.

UUD 1945 sendiri mengamanatkan pengelolaan migas oleh negara diwakili oleh BUMN, bukan BHMN (Badan Hukum Milik Negara) sebagaimana status BP Migas. Berdasarkan data yang dipaparkannya, Sutadi menunjukkan bahwa selama hulu migas dikelola oleh BP Migas, pendapatan negara  dari sektor ini terus mengalami penurunan.

Menurutnya, pada 2001 –  2009 pendapatan negara cuma mampu menembus USD147 miliar atau sekitar 58,96% dari total penargetan. Padahal, saat dikelola Pertamina pada tahun 1966 – 1978 pendapatan mencapai USD17,4 miliar 68,76% dari total penargetan.

Selama dipegang Pertamina operating cost (biaya operasi, red) pada 1978 – 2001 hanya USD46,1 miliar dari total produksi minyak sebesar 1,4 juta barel per hari, dengan pendapatan USD306 miliar dari produksi migas. Dari situ, negara mendapatkan USD216 miliar.

Maka dari itu, ia berharap ke depan pengelolaan migas Indonesia dikembalikan dalam bentuk B to B. “Tahun depan saya brahrap melalui revisi UU Migas, sistemnya kembali B to B,” tegasnya.

(CR – 1, duniaenergi@yahoo.co.id)