SELAMA ini ada stigma di masyarakat bahwa ibu rumah tangga tidak bisa produktif dari sisi ekonomi dan hanya menghabiskan waktu “bergosip” saat berkumpul dengan ibu – ibu lainnya. Stigma tersebut langsung terbantahkan jika melihat para Ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati di Desa Sukakarya, Kecamatan STL Ulu Terawas, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Setidaknya ada 60 ibu- ibu yang tergabung dalam KWT tersebut selalu menyibukkan diri membuat berbagai produk olahan Jahe merah dan Pinang.

Suhartini, Ketua Kelompok KWT Melati, menceritakan antusiasme KWT Melati berangkat dari kesulitan ekonomi yang diali warga desa yang kesulitan untuk memulai atau mengembangkan usaha mereka sendiri akibat keterbatasan akses ke sumber daya finansial.

Harapan untuk menuju kemandirian ekonomi akhirnya muncul setelah Suhartini secara tidak sengaja  diundang mengikuti pelatihan untuk menanam jahe yang diinisasi pemerintah desa.

Suhartini ingat betul ibu-ibu di sekitar rumahnya langsung bersemangat untuk memulai bercocok tanam Jahe. Bahkan mereka sampai sukarela mengumpulkan dana Rp10 ribu per orang. “Pulang dari pelatihan tanam jahe, modal patungan Rp10 ribu itu dapat tanam 3.500 polibag,” cerita Suhartini kepada Dunia Energi di rumah produksi KWT Melati, Rabu (22/11).

Produk jahe merah ternyata disambut positif masyarakat sehingga membuat para ibu-ibu makin bersemangat bahkan jumlah anggota kelompok terus bertambah yang membuat kemampuan produksi-pun meningkat.

KWT Melati tidak berhenti di Jahe Merah, potensi yang mereka miliki terendus oleh manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Regional I Sumatera Pendopo Field yang langsung mendorong lahirnya berbagai produk olahan baru. Bahkan tidak hanya menggunakan bahan jahe merah tapi juga pinang yang kebetulan banyak tumbuh di Desa Sukakarya.

“Ada Kopi pinang, Bandreg Jahe pinang, Kue terbuat dari mocaf, pewarnaannya dengan pinang. Tepung singkong (singkong) itu kami pasok ke pabrik roti,” ujar Suhartini.

Dulu jahe yang dihabiskan setiap bulan hanya 15-20 kg yang dijual seharga Rp10 ribu per bungkus dengan berat 200 gram. Sekarang dengan kemasan baru dengan pemasaran yang jauh lebih luas setiap bungkus jahe merah dibandrol dengan harga Rp25 ribu per bungkus. “Sekarang kebutuhan 300kg per bulan. 100kg jadi 300 pcs jadi per bulan hampir 1.000 pcs,” ungkap Suhartini.

Penggunaan jahe dan pinang ternyata tidak hanya bernilai secara ekonomi tapi juga memiliki manfaat untuk mengurangi limbah di desa. Ampas jahe setelah digiling misalnya sekarang dibagikan ke para petani untuk dijadikan pupuk organik, begitu juga dengan limbah pinang (kulit) yang sekarang digunakan untuk menyuburkan tanaman padi.

Khusus pemanfaatan pelepah pinang, KWT Melati melakukan kerjasama dengan salah satu startup level nasional yaitu Plepah Indonesia (Plepah.id). Bentuk kemitraan ini adalah hasil upaya dari PEP Pendopo Field dan KWT Melati dalam melaksanakan pelatihan pemanfaatan pelepah pinang menjadi wadah ramah lingkungan. Dari kegiatan pelatihan tersebut, pihak Plepah Indonesia menyatakan minat untuk bekerjasama dengan KWT Melati sebagai mitra dalam hal memasok kebutuhan bahan baku pelepah pinang. Tiap bulannya KWT Melati mampu menyuplai 1.500 kg pelepah pinang ke Plepah Indonesia. Secara ekonomi, untuk 1 kg pelepah dihargai Rp 1.500 oleh Plepah Indonesia. Sedangkan KWT Melati mendapatkan pelepah pinang dengan cara membeli dari mitra petani pinangnya seharga Rp 1.000/kg nya. Rata-rata pendapatan dari KWT Melati per bulannya mencapai Rp 20 juta – Rp 50 juta. “Sehari ibu- ibu bisa bawa pulang rata-rata Rp100 ribu,” ujar Suhartini.

Pendapatan ini terdiri dari pendapatan penjualan pelbagai produk UMKM nya, mulai dari Bandrek Jahe Pinang, Kopi Pengantin, Pinang Herbal, Kue Mocaf, dan lainnya, yang penjualan tiap bulannya hampir mencapai 2000-3000 pcs. Tidak hanya itu, KWT Melati juga mendapatkan tambahan pendapatan dari penjualan bahan baku pelepah dengan rata-rata per bulannya mencapai Rp 2.250.000 per bulannya. Lebih jauh lagi, petani pinang juga mengalami peningkatan pendapatan dari penjualan pelepah pinang, yang sebelumnya tidak ada pendapatan menjadi sekitar Rp. 125.000 per bulan.

Selain itu Plepah Indonesia juga mendorong KWT Melati untuk mampu memproduksi sendiri wadah ramah lingkungannya. Dengan dibantu oleh PEP Pendopo Field dalam aspek peningkatan kapasitas pengoperasionalan mesin dan menyediakan fasilitas mesin tersebut, kedepannya KWT Melati akan mampu memproduksi wadah ramah lingkungannya secara independen.

Dari sisi lingkungan, selama ini warga membakar pelepah pinang menjadi dapat dikendalikan dan mampu mereduksi pelepasan emisi karbon hingga 1.202,88 KgCO2eq dari total 1.500 kg limbah pelepah pinang/bulannya. Tidak hanya itu dengan upaya yang dilakukan oleh KWT Melati dan stakeholders lainnya dalam menjaga pelestarian ekologi, dilakukan kegiatan penanaman pohon pinang jenis Betara sebanyak 14.233 bibit serta mampu mengkonversi lahan perkebunan pinang seluas 15 ha dari ancaman alih fungsi lahan.

Kegigihan KWT Melati ini disambut dengan dukungan berbagai pihak melalui sumbangan bibit pohon pinang yang mulai ditanam pada tahun ini. Sedikitnya ada lebih dari 15 ribu bibit pohon pinang akan ditanam hasil sumbangan dari berbagai stakeholder. “Tiga tahun lagi sudah siap untuk dimanfaatkan buah dan pelapahnya,” ujar Suhartini.

I wayan Sumerta Senior Manager Pendopo Field, menjelaskan Kegiatan yang dilakukan oleh ibu-ibu KWT Melati di Desa Sukakarya melalui Program GEMILANG (Gerakan Perempuan Lestsrikan Alam melalui Konservasi Pinang) menjadi upaya awal dari pemberdayaan perempuan dan pelestarian lingkungan yang selanjutnya akan terus dikembangkan kebermanfaatannya di berbagai tingkatan.

“Melalui pemanfaatan potensi pinang dan kemudian inovasi wadah ramah lingkungan serta limbah organik menjadi pupuk organik, perempuan yang selama ini dianggap “warga kelas dua” dapat membuktikan bahwa posisi mereka egaliter di dalam ruang-ruang kesejahteraan yang selama ini didominasi oleh laki-laki” kata Wayan. (RI)