JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan mekanisme baru pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar untuk anggaran 2019. Mekanisme tersebut berupa memberlakukan batas atas dan bawah alokasi subsidi yang dapat dievaluasi dalam jangka waktu tertentu.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan kondisi harga minyak dunia yang tidak dapat diprediksi membuat potensi terganggunya alokasi ditengah jalan. Hal itu bisa dilihat dari kondisi sekarang ini dimana harga minyak melonjak tinggi, namun subsidi Solar tidak berubah.

“Subsidi Solar, nanti dikasih silling, bisa sampai Rp2.500 per liter, tergantung harga minyak dunia. Ini bisa dievaluasi bulanan. Jadi dikasih range, tergantung harga minyak,” kata Jonan disela rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Kamis (19/7).

Pada 2019, Kementerian ESDM memproyeksikan jumlah subsidi sebesar Rp 2.000-2.500 per liter. Untuk volume minyak Solar sebesar 16,17 juta kiloliter (KL) – 16,53 juta KL.

Sepanjang enam bulan 2018 volume Solar yang sudah tersalurkan mencapai 7,19 juta KL. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 telah menganggarkan volume 15,62 juta KL. Seiring rendahnya konsumsi, maka dalam outlook 2018 pemerintah merevisi volume Solar menjadi 14,5 juta KL.

Menurut Jonan, besaran subsidi Solar per liter untuk tahun ini yang sebelumnya ditetapkan Rp 500 per liter juga sudah tidak relevan dengan asumsi makro, terutama harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Pada APBN 2018 asumsi ICP ditetapkan sebesar US$48 per barel, namun kondisi saat ini jauh di atas asumsi tersebut.

“Subsidi harga idealnya menjadi Rp 2.000 per liter itu sudah plus margin. Kalau pakai Rp500 dengan ICP US$ 66,55, ya itu enggak bisa juga,” ungkap Jonan.

Tambahan dana subsidi Solar nantinya bisa dimanfaatkan dari kelebihan uang yang diterima negara dari kenaikan ICP.

“Realisasi ICP hingga Juni US$66,55 per barel. Kalau US$ 65, berarti ada US$ 17 windfall atau 30%. Nah ini yang akan dipakai untuk subsidi,” tandas Jonan.(RI)