HIDUP sebagai difabel bukan perkara mudah. Untuk bisa bersanding dengan manusia normal saja banyak sekali tantangan apalagi jika harus bersaing mencari nafkah. Kenyataan ini harus kita sadari, bagaimana rekan-rekan difabel belum mendapatkan perlakuan yang sama rata di semua tempat. Memang ada tempat yang menyediakan berbagai fasilitas, perhatian khusus bagi rekan-rekan difabel tapi lebih banyak lagi yang abai akan keberadaan mereka.

Di Kecamatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang yang berada 456 kilometer (km) dari Banda Aceh, ibu Kota provinsi Nangroe Aceh Darussalam, kita bisa melihat satu dari sedikit wilayah yang sangat bersahabat dengan rekan-rekan difabel. Mulai dari pendidikan, hingga ke penyediaan lapangan kerja.

Dede Kurniawan (38), seorang tuna daksa, menceritakan sering diremehkan saat melamar pekerjaan sebagai mekanik motor di berbagai bengkel di Aceh Tamiang saat lulus dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Aceh Tamiang. Padahal dia sudah bergelut dengan dunia otomotif roda dua selama bertahun-tahun.

“Saya sampai bilang ke bengkel biar diterima kerja, kalau memang ini motor makin rusak saat saya pegang (service) saya ganti semua biaya service nanti,” cerita Dede kepada Dunia Energi, Selasa (3/10).

Dede tidak bisa membuktikan apapun selain hasil kerja yang memuaskan pelanggan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Sementara Yasir Muhammad (30), seorang tuna rungu yang kesehariannya sebagai petugas kebersihan di sekolah di Aceh Tamiang. Dia memang tidak bisa memilih pekerjaan yang diinginkan. Sudah mendapatkan rejeki dari bersih-bersih saja sudah syukur Alhamdulillah.

Sejak tahun 2021 kehidupan Dede maupun Yasir berubah 180 derajat setelah mereka berdua jadi anggota Rumah Kreatif Tamiang besutan PT Pertamina EP Zona 1 Rantau Field, Subholding Upstream Pertamina. Kini Dede adalah ketua kelompok untuk bengkel motor inklusi, sementara Yasir jadi andalan di Cafe Inklusi (Inklusi Coffee) di Aceh Tamiang.

Menurut Dede, bengkel Rumah Kreatif Tamiang membuka matanya bahwa dengan berbagai inisiatif serta penyesuian ternyata lingkungan yang ramah kepadanya seorang tuna daksa dan rekan difabel lainnya bisa dibentuk sehingga mereka merasa bisa percaya diri hidup berdampingan serta merasa sejajar dengan manusia normal. Jika dulu Dede sulit mencari pekerjaan dengan keterbatasan kondisi fisiknya kini dia bisa membantu rekan-rekan sesama tuna daksa untuk mendapatkan pekerjaan.

Dede mengaku sangat terbantu dengan adanya bengkel motor inklusi yang jadi bagian dari Rumah Kreatif Tamiang karena dari segi ekonomi jauh berbeda dibandingkan jika membuka bengkel konvensional.

“Ekonomi bisa meningkat, banyak pelanggan di sini. Kita juga dapat bantuan setahun sekali bantuan seperti sparepart dan lainnya,” cerita Dede.

Kini ada enam mekanik tuna daksa yang bekerja di bengkel. Tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah, bengkel inklusi juga jadi sarana pendidikan bagi siswa sekolah normal yang sedang Praktik Kerja Lapangan (PKL). Tercatat ada empat siswa yang sedang melakukan PKL di sana.

Dede Kurniawan saat sedang melakukan perbaikan motor di bengkel Inklusi (Foto/Dok/Dunia Energi)

Sementara Yasir mengaku bekerja di sebuah Cafe (Inklusi Coffee) di lingkungan orang-orang normal memberikan kepercayaan pada dirinya untuk mengembangkan kemampuannya sebagai barista (pembuat kopi). Apalagi Aceh dikenal sebagai “surga” bagi para pecinta kopi tentu kemampuan sebagai barista membuat peluangnya untuk mendapatkan rezeki lebih besar. “Orang tua sangat senang, bisa cari kerja,” kata Yasir melalui isyarat yang disampaikan ke penerjemah bahasa sambil tersenyum.

Cafe Inklusi ternyata punya tempat tersendiri di Aceh Tamiang karena setelah didesain sedemikian rupa oleh tim Rantau Field, rekan-rekan difabel yang bekerja di sana tidak merasakan kesulitan sama sekali saat melayani konsumen. Karena konsumen yang dibuat beradaptasi memanfaatkan teknologi. “Sempat pelanggan ada yang bingung, tapi dikasih tahu cara pesannya beda dengan tempat lain,” kata Yasir.

Program Pengembangan Ekonomi Kreatif Masyarakat DIfabel Aceh Tamiang – Pertamina Berdikari Rumah Kreatif Tamiang merupakan program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat Penyandang Disabilitas yang tersebar di Kabupaten Aceh Tamiang. Program ini diinisiasi Rantau Field bekerja sama dengan Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tamiang, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tamiang serta LSM Boemi. Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tamiang berperan sebagai institusi yang menaungi masyarakat Penyandang Disabilitas Kabupaten Aceh Tamiang.

Selain bengkel dan Cafe, Rumah Kreatif Tamiang juga mewadahi Rumah Limbah dan Galeri oleh-oleh Ajang Ambe. Rumah Limbah adalah tempat pengolahan minyak jelantah yang merupakan limbah rumah tangga menjadi lilin aroma terapi dan sabun. Sementara Galeri Ajang Ambe adalah pusat pemasaran berbagai produk UMKM yang ada di Aceh Tamiang. Omset dari Galeri ini tidak main-main yakni mencapai rata-rata bisa mencapai Rp100 jutaan setiap tahun.

Oscar Mudha Kusuma, Community Development Officer PT Pertamina EP Rantau Field, menjelaskan terdapat tiga unit kegiatan usaha yang yang dikelola oleh kelompok yaitu Bengkel, Café, Rumah Limbah serta program pendukung melalui Galeri Ajang Ambe. Anggota berjumlah 20 orang yang tersebar di seluruh sub-unit usaha kelompok.

Cafe Inklusi disertai dengan bantuan bagi para pelanggan untuk memesan makan atau minum (Foto/Dok/Dunia Energi)

Saat ini Rumah Kreatif Tamiang kata Oscar tengah mengembangkan inovasi Sosial SETARA SEJALAN menciptakan sistem pemberdayaan model baru dengan memberikan pedoman bagaimana menjalankan kewirausahaan sosial berbasis pada pengembangan masyarakat inklusif melalui lima indikator. “Ada Infrastruktur, Sosial, Psikologi, Lingkungan, dan Kerja Aman,” kata Oscar.

Untuk infrastruktur misalnya guding block untuk membantu berjalan, disediakan pegangan di beberapa titik di sekitar cafe. Kemudian ada spot khusus difabel seperti tempat parkir kendaraan, meja dengan tinggi yang disesuaikan dan sebagainya.

Lalu ada sosial dengan melibatkan non difabel seperti untuk di cafe sebagai manager yang juga membantu pelanggan jika mau melakukan pemesanan makan atau minum menggunakan bahasa isyarat. Psikologis dengan melakukan pendampingan setiap 10 hari sekali. “Tapi ini sifatnya suka rela, yang mau silahkan ikut,” ungkap Oscar.

Kemudian terakhir adalah Kerja Aman, bagaimana para difabel yang bekerja juga tetap dibina untuk selalu mengedepankan aspek keamanan dan keselamatan dalam bekerja. “Misalnya dalam pengolahan limbah oli motor. Lalu rekan-rekan mekanik difabel juga kami pandu agar selalu safety dalan bekerja gunakan alat-alat yang sudah memenuhi standar keselamatan seperti baju khusus atau sarung tangan,” jelas Oscar.

Despredi Akbar, Field Manager Rantau, mengungkapkan Program Pengembangan Ekonomi Kreatif Masyarakat DIfabel Aceh Tamiang – Pertamina Berdikari “Rumah Kreatif Tamiang ini diharapkan mampu menjadikan wadah kreatifitas Masyarakat Penyandang Disabilitas Aceh Tamiang untuk mengembangkan minat, bakat dan perekonomian mereka. “Selain itu, program ini diharapkan mampu memberikan pandangan pada masyarakat, bahwasanya masyarakat difabel juga memiliki keahlian dan dapat memiliki kegiatan usaha,” ujar Despredi.

Dia menekankan bahwa manajemen Pertamina EP Rantau Field memiliki roadmap yang jelas setiap tahunnya dalam menjalankan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) termasuk di Aceh Tamiang ini.

Adapun fokus ke Rumah Kreatif Taminang yang menggandeng rekan difabel menurutnya berangkat dari kebutuhan yang sudah dikoordinasikan dengan pemerintah kabupaten Aceh Tamiang mengenai pemberdayaan masyarakat difabel.

“Angka disabilitas Aceh Tamiang no 2 paling tinggi di provinsi Aceh. Nggak fair kalau bersaing langsung dengan masyarakat umum. Mudah2an bisa memberikan bantuan, stimulasi agar bisa mandiri, bergabung bekerja secara normal, memberi nafkah. Mudah-mudahan ini menjadi pionir. Harapannya bisa memberikan inspirasi untuk yang lain membangun sistem yang ramah untuk rekan-rekan difabel,” jelas Despredi. (RI)