JAKARTA – Indonesia menjadi salah satu negara dengan penurunan terbesar investasi di sektor hulu minyak dan gas. Nilai investasi eksplorasi dan penilaian lapangan migas global mengalami pasang surut selama 10 tahun terakhir. Kondisi tersebut ditambah dengan pelemahan harga minyak global berimbas langsung terhadap penurunan realisasi penerimaan negara dari sektor migas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Seiring dengan itu kontribusi sektor migas yang selama ini menjadi salah satu mesin penggerak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia ikut menyusut.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan salah satu masalah mendasar yang membuat investor menahan diri untuk menambah investasi (bagi mereka yang sudah beroperasi di Indonesia) atau tidak menarik investor migas baru adalah realisasi kebijakan yang belum terwujud secara komprehensif.

“Kebijakan yang ada masih bersifat sektoral dan belum mampu memberi peluang untuk mencapai keekonomian dalam operasional industri migas di Indonesia. Kita tahu di industri hulu migas investasi tersebut berdampak secara luas, termasuk melalui rantai suplai domestik yang panjang,” kata Komaidi di Jakarta, Rabu (4/4).

Pembenahan mata rantai birokrasi mulai dari proses eksplorasi, produksi hingga ke distribusi produk untuk konsumsi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan inefisiensi di sektor migas di Indonesia.

Komaidi mengatakan upaya memangkas birokrasi mulai dilakukan pemerintah dengan penyederhanaan perizinan maupun dengan program perizinan satu pintu. Bahkan, beragam aturan revisi maupun aturan baru diterbitkan demi menggairahkan industri hulu migas nasional.

“Namun di sisi lain aturan-aturan tersebut masih belum memberi kejelasan terkait pelaksanaan teknisnya maupun memenuhi ekspektasi pelaku usaha,” kata dia.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 disebutkan hingga 2050 pemenuhan kebutuhan migas sangat mengandalkan impor. Hal ini disebabkan peningkatan kebutuhan energi fosil dalam bentuk konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan gas sangat tidak sebanding dengan kemampuan produksi di dalam negeri. Dengan kebutuhan BBM hingga 4,6 juta barel per hari dan kebutuhan gas di kisaran 25.869 juta kali kubik per hari (MMSCFD), impor menjadi kebutuhan mutlak. Padahal Indonesia masih memiliki potensi meningkatkan produksi dari ladang migas dalam negeri, asalkan bekerja keras untuk terciptanya konsistensi dalam kebijakan demi iklim investasi migas yang lebih menarik bagi investor nasional maupun global.

Secara teknis produksi minyak nasional membutuhkan peningkatan rasio pengembalian cadangan (reserve return ratio/RRR) dari kisaran 60% ke 100%, penemuan cadangan baru 6,4% setiap 5 tahun dan kegiatan EOR (Enhanced Oil Recovery) dalam kurun waktu 30 tahun mencapai 2,5 miliar barel. (Target RRR)

Sementara upaya untuk meningkatkan produksi gas akan ditempuh dengan menaikkan rasio cadangan hingga 100% dengan peningkatan eksplorasi, mempercepat proyek gas bumi dan mengendalikan impor LPG.

Menurut Komaidi, semua itu hanya bisa tercapai jika kegiatan eksplorasi dan produksi migas kembali menggeliat. Karena itu pembenahan kebijakan di sektor industri migas, terutama hulu migas mutlak diperlukan.

“Aturan pelaksana yang detil, saling menopang satu sama lain dan mampu memberikan nilai keekonomian dalam operasional pelaku usaha harus segera terwujud. Ini demi menggairahkan kembali investasi sehingga berkontribusi maksimal bagi pemenuhan  kebutuhan energi dan perekonomian nasional,” kata Komaidi.(RA)