JAKARTA – Konsistensi pemerintah dalam mengendalikan produksi batu bara dinilai menjadi sangat kritikal dan harus diprioritaskan sebagai bagian dari strategi kebijakan pembangunan. Selain pertimbangan daya dukung lingkungan dan mengendalikan emisi gas rumah kaca, pengendalian produksi juga bagian dari strategi menjaga neraca sumberdaya, untuk memastikan pemanfaatannya secara efektif dan memiliki hasil (output) yang jelas.

“Jadi, pemanfaatan batu bara harus dipastikan memiliki nilai lebih yang efektif bagi pembangunan, bukan lagi sekedar pendapatan langsung keuangan negara dari penjualan komoditas – namun juga masih terdapat potensi kebocoran. Tapi, harus memiliki strategi pemanfaatan yang jelas dan menopang tujuan dan sasaran strategis pembangunan,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Nasional/Direktur PWYP Indonesia, Kamis (26/7).

Karena itu, kata dia, berapa pun jumlah kuota produksi, datangnya harus dari pemerintah bukan dari pelaku usaha.

Maryati menekankan, pemberian insentif berupa kenaikan kuota produksi di tengah harga batu bara yang sedang tinggi saat ini sangatlah tidak tepat.

“Alih-alih untuk memenuhi kebutuhan DMO,  malah bisa memicu eksploitasi besar-besaran. Padahal masih terdapat persoalan penetapan harga dan transfer kuota, lemahnya pengawasan, rendahnya kepatuhan, masih adanya IUP Non-CNC, dan tunggakan PNBP pelaku usaha yang belum dilunasi. Serta problem sosial dan lingkungan yang membayang-bayangi,” ungkap dia.

Maryati menambahkan, kebijakan pengendalian produksi batu bara memiliki spektrum yang lebih luas. Kebijakan pengendalian produksi erat kaitannya dengan kebijakan perizinan dan penerimaan negara. Pengendalian produksi hanya bisa dicapai jika izin pertambangan dikendalikan dan fungsi pengawasan ditingkatkan. Pasalnya, belum ada instrumen sanksi yang solid dari pemerintah jika ada pelaku usaha yang melanggar ketentuan besaran produksi yang disepakati di Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) . Karenanya, produksi batu bara akan menjadi sulit dikontrol.

Di samping itu, sulit menerapkan kebijakan pengendalian produksi jika batu bara masih dibebani dengan target penerimaan, khususnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sudah saatnya pemerintah beralih dari paradigma pengelolaan batubara yang hanya menghasilkan manfaat jangka pendek, yakni penerimaan negara.

Pemerintah harus menempatkan isu ini untuk kepentingan strategis pembangunan jangka menengah dan panjang. Serta memiliki indikator capaian keberhasilan dari strategi pembangunan yang jelas dan terukur .

Pengawasan selama ini juga masih bertumpu pada laporan yang bersifat selfreporting dari pelaku usaha.

“Korsup Minerba mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam pelaporan produksi dan penjualan ke pemberi izin masih rendah. Begitu juga dengan kepatuhan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan pengawasan produksi dan penjualan ke pemerintah pusat,” kata Maryati.(RA)