JAKARTA – Keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang semakin murah setiap tahunnya, dapat mengakselerasi upaya transisi energi. Bahkan, harga listrik yang dibangkitkan dari energi surya dan angin skala besar sudah mampu bersaing dengan harga pembangkitan listrik dari batu bara.

Revolusi digital di sektor energi, tumbuhnya kekuatan konsumen untuk menggunakan listrik dari energi bersih, bangkitnya kendaraan hibrida dan listrik, serta desentralisasi pembangkitan energi menjadi faktor pendorong lainnya dalam upaya dekarbonisasi sektor tersebut.

“Untuk konteks Indonesia, transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan perlu disiapkan dengan baik,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Rabu (3/9).

Menurut Fabby, pemanfaatan energi terbarukan yang menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan energi nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), belum terefleksikan dalam pencapaian Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga 2020. Terlepas dari target yang ambisius, beberapa indikator dan asumsi yang digunakan untuk memodelkan supply dan demand energy dalam RUEN pun dibangun berdasarkan basis data dan informasi 2015.

“Padahal, dalam lima tahun terakhir ini indikator dan asumsi dari sosio-ekonomi, tekno-ekonomi sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan,” ujar Fabby.

Berdasarkan RUEN, 2025, energi terbarukan diproyeksikan meningkat dari 7% menjadi 23%, batu bara dari 26% menjadi 30%, dan bahan bakar minyak turun dari 46% menjadi 25%, dan gas relatif turun menjadi 22% dari sebelumnya 23% dalam bauran energi primer nasional. Berdasarkan target tersebut, pembangkit listrik energi terbarukan pada 2025 mencapai 45,2 GW dengan komposisi 20,9 GW dari air, 7,2 GW dari panas bumi, 6,5 GW dari surya, 5,5 GW dari bioenergi, dan 1.8 GW dari bayu.

Fabby menambahkan, dengan melihat tren dekarbonisasi yang masif terjadi di tingkat global dan regional, IESR berupaya untuk menginvestigasi kontekstualisasi dari model RUEN. Hal ini sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang.

“Dengan demikian, dapat mengakomodasi tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi yang terjadi, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi ini,” tandas Fabby.(RA)