JAKARTA – Potensi cadangan minyak dan gas (Migas) dunia diyakini masih cukup besar. Kondisi ini mendorong perusahaan-perusahaan start up independen gencar mencari sumber cadangan migas.

Tumbur Parlindungan, Direktur Star Energy Oil and Gas Indonesia dan TIS Petroleum, mengungkapkan sumber cadangan migas di Afrika dan Asia cenderung masih dominan saat ini.

“Dari tahun 2013-2022 walaupun kita lari ke energi transisi atau green energy, tetap masih banyak major discovery yang ditemukan di seluruh dunia, rata-rata lebih dari 15 billion barel per year. Itu kondisi pada saat ini,” ungkapnya dalam acara webinar DETalk yang digelar Dunia Energi bertajuk “Contractor Insights : Enhancing National Energy Resiliance Through Extensive Oil and Gas Exploration”, Jumat (16/2/2024).

Hadir pula dalam webinar, Nanang Abdul Manaf, Wakil Kepala SKK Migas, Suprayitno Adinugroho, VP Eksplorasi Pertamina Hulu Rokan Regional I Subholding Upstream, dan Endro Hartanto, Direktur Operasi PT Elnusa Tbk.

Menurut Tumbur, secara spending walaupun saat ini banyak mengarah pada green energy, tapi sejak 2016 sampai sekarang teen eksplorasi migas masih cukup besar dan dominan di Afrika dan Asia. Dengan banyaknya spending seperti ini, kata dia, maka banyak small company oil and gas yang mau spending di area-area hot spot. “Indonesia menjadi hotspot karena ada dua temuan besar,” ujar Tumbur.

Dia mengatakan, salah satu spending terbesar saat ini berasal dari eksplorasi offshore. Saat ini eksplorasi cenderung dilakukan di wilayah offshore, karena dipicu masalah sosial yang masih menjadi kendala. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, masih dihantui masalah sosial yang cukup besar.

“Banyak cari di offshore ultradeep maupun shallwater. Karena social issued sangat minim dibanding di land. Jadi bukan hanya di Indonesia, di US pun mengalami social issued terkait pembebasan lahan. Banyak proyek yang tertunda karena social issued, salah satunya proyek Petronas di Kanada itu hamper 3-5 tahun tertunda karena isu dengan masyarakat lokal. Land acquisition memang menjadi kendala,” kata Tumbur.

Lebih lanjut Tumbur menjelaskan, salah satu discovery dari tahun 2014-2023 masih didominasi gas di seluruh dunia. Dengan adanya green energy semakin banyak oil company mencari gas resources di seluruh dunia. Dari 2019-2021 Malaysia menjadi hotspot untuk eksplorasi karena banyak temuan migas di Malaysia.

“Itu yang membuat banyak ekosistem di Indonesia pindah ke Malaysia. Tapi di 2023 seperti ada beberapa temuan discovery di Indonesia yang cukup besar. Membuat Indonesia muncul lagi di map major exploration target. Biasanya begitu jadi hotspot, maka independent company atau startup company akan datang untuk cari resources dengan segala teknologi atau kemampuan mereka untuk cari resources baru. Ke Aceh, Kalimantan, Natuna pun kini menjadi hotspot,” jelasnya.

Tumbur mengatakan, apabila dilihat dari discovery Indonesia menjadi target untuk gas. Selama 10 tahun terakhir banyak teknologi yang dipakai untuk mengurangi exploration cost yang ada di seluruh dunia.

Untuk value creation dari penemuan, ke depannya akan semakin banyak merger dan akusisi karena banyaknya green energy. “Semakin banyak merger dan akusisi untuk memperkuat structure company. Chevron baru saja akusisi Hess. Tren itu akan terus berlanjut selama oil price masih di atas US$75-80. Tujuannya memperkuat company untuk melakukan eksplorasi atau expantion, baik di negara sendiri maupun di luar,” katanya

Perusahaan start up, kata Tumbur, biasanya mencari lokasi yang bisa menjadi hotspot dan memiliki infrastruktur yang memadai. Biasanya untuk yang unconventional, harus ada infrastruktur yang dikembangkan dengan baik. Di Texas, Amerika Serikat, menjadi hotspot di mana setiap minggu ada proses akuisisi.

“Karena ada infrastruktur, ekosistem bagus sehingga pengembangan unconventional cukup baik di sana.
Untuk gas lebih banyak di Asia, dominan di Indonesia dan di US. Ada isu US akan kurangi ekspor gas, jadi eksplorasi gas akan meningkat ke arah Asia dan Australia, ini yang menjadi tren 5 tahun ke depan,” kata Tumbur.

Tahun 2024 salah satu high impact yang akan di bor salah satunya Indonesia is on the map, Gayo 1, ini salah satu yang menjadi target di Indonesia.

Perusahaan startup oil and gas akan selalu melihat area yang berkembang menjadi hotspot. Salah satu recent discovery ada di Aceh, yang dipastikan menjadi incaran join study untuk independent company untuk mencari sumber-sumber cadangan migas baru.

“Jadi small company seperti yang saya kerjakan sekarang ini, mencari hotspot-hotspot untuk kemudian dikembangkan oleh perusahaan besar. MNK juga sedang kita cari, Indonesia MNK potensinya cukup besar di Jawa maupun Kalimantan. Yang jadi masalah adalah infrastruktur dengan ekosistemnya,” ujar Tumbur.(RA)