PURWOREJO – “Hari ini, Kamis (10/2), warga Wadas kembali menerima intimidasi. Aparat dan petugas mendatangi rumah-rumah warga kontra tambang dan memaksa warga menandatangani persetujuan tambang. Kejadian itu di luar perkiraan warga dan tim LBH. Mereka mengerahkan kurang lebih 10 personel aparat dan beberapa petugas di setiap rumah. Hal ini semakin memperparah ketakutan dan trauma warga,” ungkap salah seorang Anggota Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta, dalam konferensi pers yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kamis(10/2/2022).

Berdasarkan Perda Kabupaten Purworejo tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031, Kecamatan Bener termasuk Desa Wadas ditetapkan sebagai kawasan perkebunan.
Komoditas perkebunan mencapai 8,5 miliar per tahun dan komoditas kayu keras mencapai 5,1 miliar per 5 tahun. Lebih dari Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Purworejo.

Namun berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018, Desa Wadas tersebut akan ditambang batuannya (quarry) untuk pembangunan Bendungan Bener. Akibatnya, warga harus berjuang untuk mempertahankan karunia alam yang melimpah dari ancaman perampasan ruang hidup.

Insin Sutrisno, Gerakan Masyarakat Peduli Alam Wadas (Gempadewa), mengungkapkan aparat Kepolisian-TNI telah melakukan aksi pengepungan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa(8/2). Pada Rabu 9 Februari 2022, sejak pukul 08:00 WIB, mereka kembali melanjutkan penyisiran ke beberapa titik, seperti Masjid, Balaidesa, rumah-rumah, dan pos-pos penjagaan milik warga.

Kedatangan ratusan aparat kepolisian memasuki wilayah tersebut terkait pengukuran tambang batu andesit. Pembangunan tambang batu andesit di wilayah itu memicu kontra dari warga yang merasa tambang akan memiliki dampak yang signifikan pada lingkungan.

“Rasa takut dan trauma menghantui kehidupan warga Wadas. Banyak di antara warga yang sanak saudara, anak, suaminya digelandang ke Polres Purworejo. Sulitnya informasi tentang kondisi puluhan orang yang ditangkap itu makin memperkeruh kondisi psikologis warga,” demikian disampaikan Insin, dalam pernyataan tertulisnya.

Disebutkan bahwa kondisi yang dialami warga saat ini, memperdalam ingatan tentang peristiwa yang mereka alami pada 23 April 2021 silam. Patroli aparat kepolisian bersenjata lengkap di Wadas secara terus menerus sepanjang bulan September-Oktober 2021 menimbulkan rasa trauma di benak warga.

Aktivitas ekonomi warga terganggu dan berdampak pada pemenuhan kebutuhan makan mereka. Saat ini, warga memanfaatkan pasokan logistik seadanya.

Spanduk-spanduk yang mencerminkan perjuangan warga tidak luput dari sasaran aparat kepolisian. Sejak kemarin, aparat kepolisian sibuk merobek dan mencabut spanduk berisi tulisan dan gambar yang bernada penolakan pertambangan di Wadas.

Banyak warga yang merasa tidak aman apabila harus tinggal sendiri, memutuskan untuk berkumpul di Dusun Randuparang. Banyak warga hanya berani mengintip dari jendela rumah untuk melihat situasi yang sedang terjadi.

Selain di Dusun Randuparang, aparat kepolisian-TNI juga memenuhi Dusun Winong. Persis seperti yang terjadi di Dusun Randuparang, warga di Winong juga hanya berani mengawasi aktivitas aparat kepolisian-TNI dari dalam rumah. Meskipun ada warga yang menyaksikan langsung di luar rumah, namun jumlahnya dapat dihitung jari. Kekhawatiran terjadinya tindakan kekerasan dan penangkapan menjadi alasan warga memilih untuk berada di dalam rumah.

Sejak Rabu (9/2) pagi, aparat kepolisian kembali bergerak menyisir sejumlah dusun kembali memasuki rumah-rumah warga. Mereka melakukan razia telepon seluler/handphone (hp) milik warga, tanpa alasan jelas dan seizin pemiliknya. Razia hp juga dilakukan kepada warga-warga yang berada di luar rumah. Warga hanya mengetahui bahwa razia itu dilakukan untuk memeriksa pesan maupun aktivitas digital pemiliknya. Kondisi itu juga makin dipersulit dengan belum kunjung pulihnya sinyal internet di Wadas.

Sejak hari Senin (7/2), sinyal internet di Wadas mengalami penurunan kecepatan, bahkan hilang. Hingga pukul 15:00 WIB, kondisi di Wadas masih mencekam. Aparat kepolisian berpakaian lengkap, menenteng senjata dan tameng masih berseliweran di Desa Wadas. Banyak warga hingga saat ini belum berani keluar rumah.

Sore harinya aekitar pukul 16:30 WIB, 67 orang yang ditahan di Polres Purworejo akhirnya berhasil kembali ke Desa Wadas berkat penanganan tim kuasa hukum dan tekanan dari sejumlah pihak, baik melalui media sosial maupun aksi solidaritas di berbagai titik. 67 orang itu di antaranya, 60 warga (13 di antaranya anak-anak), 5 solidaritas, 1 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta (Dhanil Al-Ghifari), dan 1 orang seniman (Yayak Yatmaka).

Beberapa di antara mereka yang ditangkap memberanikan diri menceritakan kronologi penangkapan pada hari Selasa 8 Februari 2022. Sebut saja Siji (nama samaran), seorang warga Wadas yang ditangkap aparat kepolisian, menceritakan sejak mulai merangseknya aparat kepolisian-TNI ke Desa Wadas, Selasa (8/2) siang, warga yang sedang melakukan mujahadah di Dusun Krajan didatangi segerombolan preman yang terindikasi dari pihak kepolisian. Gerombolan preman itu melontarkan pertanyaan kepada seorang warga yang berada di serambi masjid:

“Kamu orang mana?”. Beberapa warga kemudian menjawab, “orang Wadas.”

Namun, gerombolan preman tidak percaya dan meminta warga itu untuk menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seorang warga itu kemudian pergi menuju rumahnya untuk mengambil KTP. Karena diikuti oleh gerombolan preman, seorang warga itu merasa ketakutan dan lari menuju rumahnya. Gerombolan preman itu kemudian merangsek masuk ke rumah dan mendobrak kamar tempat warga itu mengamankan dirinya. Sementara, saat itu, ada enam orang warga lain yang sedang berada di dalam rumah yang salah satu di antaranya ibu-ibu. Setelah berhasil menghancurkan pintu kamar, gerombolan preman itu langsung menarik, menginjak, memukul seorang warga hingga pakaian yang ia kenakan robek. 6 orang warga lain yang berada di dalam rumah itu juga tak luput dari tindakan kekerasan membabi-buta gerombolan preman itu.

Gerombolan preman itu kemudian menyeret keluar rumah dan memborgol tangan lima orang warga. Tak hanya berhenti di situ, Siji melanjutkan, lima orang warga kembali mendapat pukulan dari
gerombolan preman itu. Setelah itu, lima warga itu kemudian dibawa ke Polsek Bener dan, selepas maghrib, dipindahkan ke Polsek Purworejo.

Membawa Senjata Tajam

Beredar kabar bahwa puluhan warga membawa senjata tajam (sajam) untuk melawan aparat kepolisian saat pengepungan dan pengukuran lahan berlangsung di Wadas. Loro (nama disamarkan), warga yang juga ditangkap, menceritakan bahwa kabar itu keliru dalam dua hal.

Pertama, warga yang dituduh aparat kepolisian membawa sajam itu jumlahnya hanya empat orang, bukan puluhan. Kedua, tuduhan yang dilontarkan aparat kepolisian bahwa empat orang warga membawa senjata tajam merupakan upaya pembalikan fakta.

Loro, warga Desa Madas, mengungkapkan bahwa sajam yang dijadikan oleh alat bukti aparat berupa arit, linggis, dan golok. Arit yang dirampas oleh aparat kepolisian itu berasal dari motor seorang pemuda yang hendak pergi mencari rumput untuk pakan ternak. Linggis dirampas aparat dari rumah seorang warga yang saat itu merenovasi rumahnya. Sementara golok, dirampas dari salah satu rumah warga yang biasanya digunakan untuk membuat baki. Dalam 1×24 jam, tuduhan-tuduhan yang
dilayangkan aparat kepolisian tidak terbukti kebenarannya.

“Ini tindakan melawan hukum dari pemerintah. Pemerintah gagal melindungi rakyatnya, karena aktor perbuatan melawan hukumnya adalah aparat pemerintah. Kalau pemerinyah masih punya nurani, langsung tarik aparat, preman, yang mengepung Desa Wadas,” kata Vicky, Walhi Jogja, dalam konferensi pers, Kamis(10/2/2022).

Trisno Raharjo, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, mengatakan aparat penegak hukum telah menggunakan cara-cara lama sehingga korban tidak tahu kesalahannya. Ini menodai ketentuan hukum acara kepolisian. “Polisi melakukan pengamanan pengukuran tanah tanpa mengenakan seragam. Pihak kepolisian sangat berlebihan mengerahkan aparatnya. Mereka sampai datang ke rumah-rumah, padahal keperluan mereka hanya untuk pengukuran tanah bukan rumah,” kata Trisno.

Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah berharap aparat hukum tidak berada di lokasi dalam jumlah banyak, karena tidak ada persoalan keamanan di Desa Wadas. Apabila ada perbedaan, semestinya dapat diselesaikan dengan baik. Kalau ada hal-hal yang perlu diselesaikan secara formal, gunakan penegakan hukum yang benar. Tidak dengan kekerasan.

“Kalau ada penekanan-penekanan, harus ada hal yang clear dari para penegak hukum. Kenapa menyematkan tindakan pidana kepada warga, sementara aparatnya sendiri melakukan tindakan yang tidak semestinya. Kami sangat berharap pihak kepolisian dapat menjalankan komitmen untuk tidak melakukan intimidasi dan penekanan kepada masyarakat,” ujar Trisno.

Zainal Arifin, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia , menyatakan bahwa kasus ini menjadi potret telah terjadi tindak kekerasan yang sedemikian rupa. Ini menjadi hal yang mengkhawatirkan dalam konteks demokrasi dan negara hukum. “Tindakan represif ini secara berulangkali dilakukan oleh negara,” ujarnya.(RA)

 

Tuntutan
Warga Wadas yang sejak awal konsisten untuk menjaga kelestarian alam dan menolak pertambangan batuan andesit di Desa Wadas, menuntut Gubernur Ganjar Pranowo dan Kapolda Jawa Tengah untuk:

1. Hentikan rencana pertambangan quarry di Desa Wadas
2. Tarik aparat kepolisian dari Desa Wadas
3. Hentikan kriminalisasi dan intimidasi aparat terhadap warga Wadas.
4. Usut tuntas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Desa Wadas.