JAKARTA – Persaingan antara PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) untuk urusan bahan bakar hidrogen di sektor transportasi makin terasa. Setelah beberapa pekan lalu Pertamina groundbreaking pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen di salah satu SPBU-nya, kali ini justru PLN yang “curi start” terlebih dulu mengoperasikan stasiun pengisian hidrogen atau Hydrogen Refueling Station (HRS) di Senayan, Jakarta.

Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, menyatakan perkembangan teknologi transportasi hijau berkembang sangat cepat, mulai dari kendaraan listrik hingga kini kendaraan hidrogen. PLN terus melakukan inovasi untuk memfasilitasi setiap perkembangan teknologi.

“Kami terus melakukan inovasi agar terus menjadi pionir dalam mendukung transformasi hijau di sektor transportasi secara end to end,” ujar Darmawan.

Dukungan untuk transformasi di sektor transportasi diawali dengan membangun ekosistem kendaraan listrik, mulai dari Electric Vehicle Digital Services, home charging services hingga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum.

“Ternyata ada lagi teknologi yaitu green hydrogen menggunakan fuel cell dan PLN siap mendukung transformasi green transportation, baik itu EV maupun hidrogen,” kata Darmawan.

Hidrogen untuk HRS Senayan ini dipasok dari 22 GHP milik PLN. Selain 21 GHP eksisting, saat ini PLN telah menambah 1 GHP di PLTP Kamojang. Total GHP tersebut mampu memproduksi 203 ton/tahun green hydrogen. Dimana 75 ton hidrogen ini digunakan untuk kebutuhan operasional pembangkit. Sementara itu, sebanyak 128 ton digunakan untuk mendukung kendaraan hidrogen.

“Total kapasitas produksi green hydrogen tersebut bisa digunakan untuk 438 mobil dalam setahun, dengan asumsi setiap mobil menempuh jarak 100 km/hari,” jelas Darmawan.

Dari sisi biaya operasional, kendaraan hidrogen ini juga lebih murah dibandingkan kendaraan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau kendaraan listrik. Dengan harga BBM Rp13.000/liter, maka biaya operasional kendaraan listrik per 1 kilometernya sebesar Rp1.300. Sementara kendaraan listrik, dengan biaya pengisian di SPKLU Ultra Fast Charging per kWh sebesar Rp3.700, maka biaya operasional per 1 kilometernya sebanyak Rp550. Sementara harga hidrogen dari GHP PLN saat ini US$2,3/kg maka biaya operasional per 1 kilometernya Rp270.

Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar bersih juga bisa menghemat impor BBM hingga 1,59 juta liter per tahun dan mampu mereduksi emisi hingga 4,15 juta ton CO2 per tahun.

Sementara itu, Pertamina  baru sekedar memulai konstruksi pembangunan SPH. Hanya saja keunggulan Pertamina adalah langsung menggandeng pabrikan manufaktur yaitu Toyota. Dengan demikian,  ketika SPH sudah terbangun dipastikan sudah ada kendaraan yang akan membeli hidrogennya.(RI)