PROBOLINGGO– Di tengah transisi energi menuju target dekarbonisasi (net zero emission) pada 2060 atau lebih cepat, PT PLN Nusantara Power (NP) Unit Pembangkitan Paiton yang berlokasi di Desa Bhinnor, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur menjadi pionir pemanfaatan limbah biomassa untuk co-firing pada pada PLTU Unit 1 dan Unit 2. Sejak Juni 2020, PLN NP Unit Pembangkitan Paiton secara bertahap menyerap limbah biomassa untuk dua pembangkit dengan total kapasitas terpasang 2X400 megawatt.

“Sejak pertengahan 2020, kami secara bertahap melakukan co-Firing dari limbah biomassa untuk PLTU Unit 1 dan Unit 2. Dari awalnya 5% secara bertahap terus meningkat dan kini sudah 10%. Bahkan kami juga pernah melakukan percobaan dengan 30%, tapi saat ini penyerapan baru di 10% biomassa. Seluruhnya tanpa melakukan modifikasi peralatan,” ujar Agus Prastyo Utomo, Senior Manager PLN NP Unit Pembangkitan Paiton, di kantornya, Jumat (1/12/2023).

Co-firing adalah teknik substitusi PLTU batubara dengan bahan biomassa pada rasio tertentu. Teknik ini biasa dilakukan dengan membakar secara bersamaan kedua bahan tersebut. Sumber biomassa bisa beragam mulai dari pelet kayu, serbuk gergaji, cangkang kelapa sawit, hingga sampah atau limbah. Dengan begitu, limbah yang tadinya hanya dibuang bisa memiliki nilai lebih dan bisa mengurangi penggunaan energi fosil, batubara yang pada akhirnya bisa menjadi solusi mengurangi emisi karbon. “Co-firing bukan haya mengurangi emisi, tetapi juga memberdayakan masyarakat dan membangun ekonomi kerakyatan,” kata Agus.

Meskipun menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama, lanjut Agus, pengendalian emisi telah dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan melalui pemanfaatan limbah biomassa yang saat ini mayoritas masih dari serbuk kayu (sawdust) untuk co-firing pada dua unit pembangkit dengan tipe Boiler Pulverizer Coal (PC). PLN NP Unit Pembangkitan Paiton juga melakukan diversifikasi biomassa melalui uji co-firing 30% menggunakan sawdust (serbuk kayu), limbah padi, cocopeat, limbah uang kertas (LURK), dan Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) tanpa kendala dengan beban 360 MW menggunakan existing auxiliary equipment. “Pasokan biomassa untuk co-firing berasal dari sejumlah daerah dengan melibatkan kelompok masyarakat yang ada di Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Malang, Banyuwangi, Pasuruan, dan Jember,” katanya.

Dia juga menambahkan, kebutuhan batu bara per hari untuk Unit 1 sekitar 10.000 ton per hari dan unit 2 sebanyak 8.000 ton per hari. Penggunaan biomassa untuk co-firing PLTU Paiton menghemat sedikitnya 325.500 ton per tahun. Harga biomassa yang dibeli PLN NP Unit Pembangkitan Paiton sesuai Peraturan Direksi PLN masih ditetapkan maksimal sama dengan harga batubara.

“Penambahan nilai ekonomi sawdust sebesar Rp 550 ribu/ton dan untuk lingkungan menghasilkan penurunan emisi GRK 471.500 ton CO2 sejak co-firing biomassa dilakdsanakan. Makanya kami menggunakan sawdust, yang secara harga masih memenuhi Perdir PLN terkait pengaturan harga biomass co-firing. Yang perlu ditekankan sebenarnya adalah upaya menghasilkan green energy 5% setara +/- 300 GWH (300 ribu MWH) tanpa investasi dan modifikasi,” katanya.

Selain Unit 1 dan 2, PLN NP Unit Pembangkitan Paiton juga memiliki satu unit pembangkitan, yaitu Unit 9. Di lahan seluas 400 hektare ini pun ada beberapa pembangkit lain yang dikelola oleh independent power producer (IPP). Total kapasitas terpasang di komplek PLTU Paiton sebanyak 4.700 MW. PLN NP Unit Pembangkitan Paiton memberikan kontribusi 1460 Mega Watt (MW) disalurakan melalui saluran tegangan tinggi system Jawa, Madura, Bali (Jamali) melalui jaringan 500 KV sebesar 5% dan untuk kebutuhan listrik regional Jawa Timur 30%. Sementara dari IPP milik Paiton Energy unit 7 & 8 ( 2×610 MW), Unit 3 (1 x 800 MW ) dan Jawa Power (2 x 610 MW).

“Kontribusi PLTU Paiton 4.700 MW sangat signifikan dalam memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Jawa-Madura dan Bali. Pasokan listrik ke sistem Jamali sebesar 22 persen dan untuk memenuhi kebutuhan kelistrikan Jawa Timur sebesar 83 %,” katanya. (DR)