JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mulai merintis pemanfaatan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) untuk bahan bakar bagi sektor transportasi dan rumah tangga yang diharapkan dapat menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), mengurangi subsidi, dan menghemat devisa negara.

LNG pertama untuk transportasi, diujicobakan pada kendaraan operasional PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur, pada Senin, 6 Agustus 2012. Pada hari yang sama, LNG juga diujicobakan pada tiga unit kompor rumahtangga di lingkungan PT Badak NGL. Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan memantau ujicoba itu dari Jakarta melalui video conference.

“Hari ini merupakan titik awal pemanfaatan LNG bagi sektor transportasi dan rumahtangga. Dimulai dari lingkungan Badak NGL, diharapkan menjadi contoh untuk diperluas pemanfaatannya bagi keperluan domestik di masa mendatang,” ujar Karen.

Ia menerangkan, paradigma bisnis LNG yang sebelumnya berorientasi pada ekspor, kini mulai berubah sejak beroperasinya Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Nusantara Regas 1, pada 24 Mei 2012. FSRU ini merupakan terminal penerima, penyimpan, dan regasifikasi LNG pertama di Indonesia yang melayani kebutuhan gas untuk PT PLN.

“Menjawab era LNG domestik, pengembangan berbagai aplikasi penggunaan LNG di dalam negeri semakin terbuka lebar, termasuk di antaranya untuk sektor transportasi dan rumahtangga,” ungkapnya.

Berdasarkan data statistik dari NGV Global, saat ini sudah terdapat kurang lebih 15 juta kendaraan berbahan gas yang sedang beroperasi di dunia. Pencatatan tersebut dilakukan terhadap semua jenis kendaraan yang berbahan bakar gas baik berupa LNG, CNG dan LGV.

Dibandingkan bensin dan solar, LNG lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi emisi sekitar 85%. Sedangkan kalau dibandingkan dengan CNG, LNG memiliki nilai densitas energi 3 kali lebih besar pada volume yang sama. LNG dapat disimpan dalam tekanan rendah (1 atmosfer), dan memiliki jarak tempuh yang lebih panjang.

Selain itu, kata Karen, penggunaan LNG sebagai bahan bakar juga mampu mengurangi biaya operasional kendaraan. Karena harga LNG yang lebih murah dibandingkan harga solar non subsidi. Harga LNG berkisar di USD 18-20 per MMbtu, sedangkan solar non subsidi sekitar Rp 9.807 per liter, atau setara dengan USD 31 USD per MMbtu.

“Bahan bakar LNG sangat sesuai apabila digunakan oleh kendaraan berukuran besar dengan jarak operasional yang jauh seperti bus, truk, dan lokomotif, maupun untuk sektor angkutan laut,” tandasnya.