JAKARTA – Di tengah meningkatnya tuntutan pasar keuangan terhadap credit rating terkait dengan dampak lingkungan, sosial dan tata kelola (Environment, Social and Governance/ESG), Moody’s memasukkan penilaian ESG ke dalam profil perusahaan-perusahaan. Moody’s Investors Service, menilai perusahaan-perusahaan minyak dan gas (oil and gas) ke dalam peringkat moderate risk dalam Environment dan Social scorecard.

Moody’s melakukan penilaian credit rating terhadap 11 sektor yang terdampak oleh risiko lingkungan, di mana sektor batu bara menjadi sektor yang dianggap berisiko paling tinggi. Untuk sektor yang termasuk ke dalam profil risiko moderat untuk kategori lingkungan dan sosial, Moody’s menilai perusahaan perlu melakukan mitigasi risiko lingkungan dan sosial ini.

Hui Ting Sim, Analyst Corporate Finance Group dari Moody’s Investors Service, mengatakan sektor migas terdampak dengan carbon transition risk. “Penting bagi perusahaan mengambil tindakan untuk memitigasi risiko dampak lingkungan agar memperbaiki credit rating score,” kata Hui Ting saat Pertamina Energy Webinar 2020, Selasa (8/12).

Hui Ting menyatakan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan migas untuk memperbaiki credit rating score mereka, di antaranya adalah mendiversifikasi usaha dan menanggulangi risiko transisi energi. “Jika perusahaan tidak melakukan apa-apa, skor risiko lingkungan mereka akan menjadi negatif,” katanya.

Sementara itu, Hery Haerudin, Vice President Pertamina Energy Institute, Hery mengatakan ada tiga skenario kondisi energi ke depan, yakni Business as Usual dimana tidak ada perubahan kebijakan EBT atau dukungan transisi energi.

Skenario kedua, market driven, dengan pencapaian target national domestic consumtion (NDC) measure 1. Serta ada penetrasi transisi energi moderate dan ada dukungan kebijakan terkait ekosistem EV, EBT dan emisi.

“Skenario ketiga, green transition dimana penetrasi tinggi energi transisi dan ada dukungan kebijakan terkait ekosistem EV, EBT dan emisi,” kata Hery.

Menurut Hery, pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan kebutuhan energi sebesar 16% pada 2020 dan 3% pada 2050 dibanding proyeksi sebelum pandemi. “Recovery dari kebutuhan energi diasumsikan paling cepat terjadi pada 2022,” kata Hery.

Hery mengatakan, energi terbarukan menjadi energi primer dengan tingkat kebutuhan paling tinggi dengan porsi mencapai 29% di skenario market driven dan 47% pada skenario green transition pada 2050. Pemanfaatan gas juga meningkat dengan porsi relatif stabil. Disisi yang lain, penggunaan batu bara dan minyak mengalami penurunan karena transisi energi, “Untuk mencapai penurunan emisi sesuai skenario diperlukan EBT paling sedikit 16% pada 2030 yang didukung oleh disrupsi energi lainnya, seperti EV, biofuel, dan peningkatan pemanfaatan gas,” kata Hery.(AT)